A. Pengertian Wasiat
Wasiat menurut bahasa
berasal dari bahasa arab وصيةyang berarti pesan.
Menurut
istilah (syara’) artinya: “Pesan terhadap sesuatu yang baik, yang harus
dilaksanakan atau dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia.
Wasiat dalam arti khusus, yaitu hanya
berkaitan dengan masalah harta. Jadi, yang dimaksud wasiat disini adalah pesan
seseorang untuk menasharrufkan/membelanjakan harta yang ditinggalkan jika ia
meninggal dunia, dengan cara-cara yang baik yang telah ditetapkan. Misalnya,
seseorang berwasiat: “Kalau saya meninggal dunia, mohon anak angkat saya
diberikan bagian seperlima dari harta yang ditinggalkan.”
B. Hukum Wasiat
Landasan hukum wasiat
adalah sebagaimana firman Allah SWT.:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·öyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara
kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib
kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang
bertakwa.”(QS. Al-Baqarah /2: 180)
Dilihat dari segi obyek
wasiat , maka hukum berwasiat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Wajib
Wajib, dalam hal yang
berhubungan dengan hak Allah. Seperti, zakat, fidyah, puasa dan lain-lain yang
merupakan utang yang wajib ditunaikan. Perintah wasiat dalam QS.Al-Baqarah/2:
180 tidak mansukh (terhapus), tetapi tetap berlaku, yaitu untuk kerabat dekat
yang tidak memperoleh bagian dalam warisan.
2.
Sunnah
Sunnah, apabila
berwasiat kepada selain kerabat dekat dengan tujuan kemaslahatan dan
mengharapkan ridha Allah SWT. Pendapat ini dikuatkan oleh jumhur ulama termasuk
di dalamnya mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Nabi SAW. bersabda:
عن ابن عمر ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما حق امر ئ مسلم له
شيءير يد ان يوصي فيه يبيت ليلتين الا ووصيته مكتوبة عند ه
(رواه الشيخان وغيرهما)
Artinya:
“Dari
Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah hak seorang muslim
yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkannya sampai lewat dua malam,
kecuali wasiatnya itu dicatat”. (HR. Bukhari Muslim dan
lain-lain)
Maksudnya ialah bahwa
wasiat itu perlu segera dicatat atau disaksikan di depan orang lain.
3.
Makruh
Makruh, apabila
hartanya sedikit tetapi ahli warisnya banyak, serta keadaan mereka sangat
memerlukan harta warisan sebagai penunjang dalam hidupnya, atau biaya untuk
melanjutkan sekolahnya.
4.
Haram
Haram, apabila harta
yang diwasiatkan untuk tujuan yang dilarang oleh agama. Misalnya, mewasiatkan
untuk membangun tempat perjudian atau maksiat.
C. Rukun dan Syarat Wasiat
Rukun
wasiat adalah:
1.
Orang yang mewasiatkan (mushi).
2.
Orang/pihak yang menerima wasiat (musa lahu).
3.
Harta/sesuatu yang diwasiatkan (musa bihi).
4.
Ijab qabul (shighat wasiat).
Masing-masing rukun wasiat diatas memiliki syarat-syarat
wasiat yang harus dipenuhi, yaitu:
1.
Syarat-syarat orang berwasiat:
a.
Balig.
b.
Berakal sehat.
c.
Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan dari
pihak manapun.
2.
Syarat-syarat orang /pihak yang menerima
wasiat:
a.
Harus benar-benar ada, meskipun
orang/pihak yang diberi wasiat tidak hadir pada saat wasiat diucapkan.
b.
Tidak menolak pemberian yang berwasiat.
c.
Bukan pembunuh orang yang berwasiat.
d.
Bukan ahli waris yang berhak menerima
warisan dari orang yang berwasiat, kecuali atas persetujuan ahli waris lain.
Rasulullah
SAW. bersabda:
لاوصية لوارث الا ان يجيز الورثة (رواه الدارقطنى)
Artinya:
“Tidak
boleh berwasiat kepada orang yang menerima warisan kecuali ahli-ahli warisnya
membolehkannya”. (HR. Daruquthni)
3.
Syarat-syarat harta /sesuatu yang
diwasiatkan:
a.
Jumlah wasiat tidak boleh lebih dari
sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan.
b.
Dapat berpindah milik dari seseorang
kepada orang lain.
c.
Harus ada ketika wasiat diucapkan.
d.
Harus dapat memberi manfaat.
e.
Tidak bertentangan dengan hukum syara’,
misalnya wasiat agar membuat bangunan megah diatas kuburannya.
4.
Syarat-syarat sighat:
a.
Kalimatnya dapat dimengerti atau
dipahami, baik dengan lisan maupun tulisan.
b.
Penerimaan wasiat diucapkan setelah
orang yang berwasiat meninggal dunia.
D. Pelaksanaan Dalam Wasiat
1.
Kadar Wasiat
Sebanyak-banyaknya
wasiat adalah 1/3 dari harta yang dipunyai oleh orang yang berwasiat. Yaitu
harta bersih setelah dikurangi utang apabila orang yang berwasiat meninggalkan
utang. Misalnya, orang yang berwasiat meninggal dunia dan meninggalkan harta
berupaa uang 1 milyar. Ternyata ia mempunyai utang 500 juta, maka uang wasiat
yang dikeluarkan adalah 1/3 dari 500 juta, bukan 1/3 dari 1 milyar.
Rasulullah SAW. bersabda:
ان
رسول الله صلى الله عليه وسلم قا ل الثلث والثلث كثير
(رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
“Sesungguhnya
Rasulullah SAW. telah bersabda, ‘wasiat itu 1/3, sedangkan 1/3 itu sudah banyak”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits di atas, banyak ulama menetapkan,
sebaiknya wasiat itu kurang dari 1/3 bagian dari harta yang dimiliki, apalagi
bila ahli warisnya terdiri dari orang-orang yang membutuhkan harta warisan
untuk biaya hidup.
2.
Wasiat bagi orang yang tidak mempunyai
ahli waris
Adapun kadar wasiat bagi orang yang tidak mempunyai ahli
waris, para ulama berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut:
a.
Sebagian berpendapat bahwa orang yang
tidak mempunyai ahli tidak boleh berwasiat lebih dari 1/3 harta miliknya.
Alasan mereka didasarkan kepada hadits-hadits Nabi SAW. yang shahih yang
mengatakan bahwa 1/3 itu pun sudah banyak, dan Nabi SAW. tidak memberikan pengecualian
kepada orang yang tidak mempunyai ahli waris.
b.
Sebagian ulama lain berpendapat, bahwa
orang yang tidak mempunyai ahli waris boleh mewasiatkan lebih dari 1/3
hartanya. Mereka beralasan bahwa hadits-hadits Nabi SAW. yang membatasi 1/3 adalah
karena ada ahli waris yang sebaiknya ditinggalkan dalam keadaan miskin. Maka apabila
ahli waris tidak ada, pembatasan 1/3 itu tidak berlaku. Pendapat diatas
dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Ubadah, Masruq, dan diikuti oleh ulama-ulama
Hanafiah.
E. Berwasiat Kepada Pembunuh
Apabila seorang berwasiat kepada seseorang, kemudian orang yang
menerima wasiat itu membunuh orang yang memberi wasiat, maka para ulama berbeda
pendapat dalam menetapkan sah atau tidaknya wasiat itu.
1)
Fukaha Syafi’iyah dan Syi’ah Imamiyah
berpendapat, bahwa wasiat itu sah, walaupun pembunuhan dilakukan dengan sengaja
ataupun motif lain seperti ingin mempercepat kematian orang yang memberi wasiat
itu, agar segera memperoleh harta yang diwasiatkan. Tindakan orang tersebut
menyebabkan dia tidak mendapatkan warisan dari orang yang dibunuhnya itu,
tetapi tidak menafikkan untuk menerima harta yang diwasiatkan kepadanya.
2)
Fukaha Hanafiyah mengesahkan wasiat
kepada orang yang membunuhnya, asal saja pembunuhan itu tidak ada karena unsur
sengaja atau karena silap. Kalau ada unsur sengaja maka wasiat itu batal dengan
sendirinya. Kalau pembunuhan itu karena silap, (seperti memukulnya dengan benda
yang menurut kebiasaannya tidak sampai mematikan dan memang tidak ada niat
untuk membunuhnya), maka wasiat itupun batal juga, kecuali ada izin dari pihak
ahli waris. Dalam hal ini sah atau tidak wasiat itu tergantung kepada ahli
waris, karena hak mereka akan dikurangi. Jadi, pembunuhan dengan sengaja wasiat
itu tetap batal, walaupun ada izin dari pihak ahli waris.
3)
Imam Abu Yusuf berpendapat, bahwa wasiat
itu tidak sah walaupun ahli waris mengizinkannya, apalagi tidak mengizinkannya.
Beliau berpegang kepada hadis Nabi SAW. :
لاوصية لقا تل
“Tidak
ada (hak menerima) wasiat bagi si pembunuh.”
Menurut Abu yusuf, hadits ini harus dipahami secara
umum, dan tidak boleh diberikan pengecualian apapun. Oleh ad-Quthny dan
Baihaqi, hadits ini dipandang daif.
F. Hikmah Wasiat
1.
Menaati perintah Allah SWT. Sebagaimana tertuang
dalam QS Al-Baqarah/2:180.
2.
Sebagai amal jariyah seseorang setelah
dirinya meninggal dunia.
3.
Menghormati nilai-nilai kemanusiaan,
terutama bagi kerabat atau orang lain yang tida mendapat warisan.
G. Hal- Hal Yang Membatalkan Wasiat
1.
Wasiat itu dijabut atau dibatalkan sendiri
oleh yang memberi wasiat tanpa memerlukan persetujuan pihak yang akan menerima
wasiat. Pembatalan itu bisa berbentuk dijualnya harta yang menjadi obyek wasiat
itu oleh yang berwasiat atau mengalihkan wasiat yang sudah disampaikannya itu
kepada pihak lain atau ia berwasiat menambah, mengurangi, atau menukar materi
yang sudah diwasiatkannya.
2.
Wasiat tersebut bisa pula batal bila
pihak yang berwasiat terkena penyakit gila sampai ia meninggal dunia.
3.
Wasiat bisa pula batal apabila pihak
yang akan menerima wasiat lebih dahulu wafat dari orang yang berwasiat.
4.
Wasiat juga bisa batal apabila harta
yang diwasiatkan itu musnah atau hilang atau habis sebelum pihak yang berwasiat
meninggal.
5.
Wasiat batal apabila pihak yang akan
menerima wasiat membunuh pihak yang berwasiat kepadanya secara tidak hak, atau
berencana untuk membunuh pihak yang berwasiat namun, rencana itu tidak
terlaksana akibat sesuatu hal di luar kamampuan pihak yang menerima
wasiat.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan,
Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi dalam
Islam (Fiqh Muamalat). Jakarta: PT Raja Rrafindo Persada.
Karim,
Helmi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta:
PT Raja Grafindo persada.
Rasjid, Sulaiman. 2010.
Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar