Feri Irawan, S.Pd.I : Selamat datang di blog ini. Silahkan browsing dan jangan lupa tinggalkan komentar sobat.

Rabu, 16 April 2014

WASIAT


A.  Pengertian Wasiat
Wasiat menurut bahasa berasal dari bahasa arab    وصيةyang berarti pesan.
Menurut istilah (syara’) artinya: “Pesan terhadap sesuatu yang baik, yang harus dilaksanakan atau dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia.
       Wasiat dalam arti khusus, yaitu hanya berkaitan dengan masalah harta. Jadi, yang dimaksud wasiat disini adalah pesan seseorang untuk menasharrufkan/membelanjakan harta yang ditinggalkan jika ia meninggal dunia, dengan cara-cara yang baik yang telah ditetapkan. Misalnya, seseorang berwasiat: “Kalau saya meninggal dunia, mohon anak angkat saya diberikan bagian seperlima dari harta yang ditinggalkan.”

B.  Hukum Wasiat
Landasan hukum wasiat adalah sebagaimana firman Allah SWT.:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ 
Artinya:
Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”(QS. Al-Baqarah /2: 180)

Dilihat dari segi obyek wasiat , maka hukum berwasiat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Wajib
Wajib, dalam hal yang berhubungan dengan hak Allah. Seperti, zakat, fidyah, puasa dan lain-lain yang merupakan utang yang wajib ditunaikan. Perintah wasiat dalam QS.Al-Baqarah/2: 180 tidak mansukh (terhapus), tetapi tetap berlaku, yaitu untuk kerabat dekat yang tidak memperoleh bagian dalam warisan.
2.    Sunnah
Sunnah, apabila berwasiat kepada selain kerabat dekat dengan tujuan kemaslahatan dan mengharapkan ridha Allah SWT. Pendapat ini dikuatkan oleh jumhur ulama termasuk di dalamnya mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali.
Nabi SAW. bersabda:  
عن ابن عمر ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما حق امر ئ مسلم له شيءير يد ان يوصي فيه يبيت ليلتين الا ووصيته مكتوبة عند ه
 (رواه الشيخان وغيرهما)
Artinya:
“Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkannya sampai lewat dua malam, kecuali wasiatnya itu dicatat”. (HR. Bukhari Muslim dan lain-lain)
Maksudnya ialah bahwa wasiat itu perlu segera dicatat atau disaksikan di depan orang lain.
3.    Makruh
Makruh, apabila hartanya sedikit tetapi ahli warisnya banyak, serta keadaan mereka sangat memerlukan harta warisan sebagai penunjang dalam hidupnya, atau biaya untuk melanjutkan sekolahnya.
4.    Haram
Haram, apabila harta yang diwasiatkan untuk tujuan yang dilarang oleh agama. Misalnya, mewasiatkan untuk membangun tempat perjudian atau maksiat.

C.  Rukun dan Syarat Wasiat
Rukun wasiat adalah:
1.    Orang yang mewasiatkan (mushi).
2.    Orang/pihak yang menerima wasiat (musa lahu).
3.    Harta/sesuatu yang diwasiatkan (musa bihi).
4.    Ijab qabul (shighat wasiat).

          Masing-masing rukun wasiat diatas memiliki syarat-syarat wasiat yang harus dipenuhi, yaitu:
1.    Syarat-syarat orang berwasiat:
a.    Balig.
b.    Berakal sehat.
c.    Atas kehendak sendiri, tanpa paksaan dari pihak manapun.
2.    Syarat-syarat orang /pihak yang menerima wasiat:
a.    Harus benar-benar ada, meskipun orang/pihak yang diberi wasiat tidak hadir pada saat wasiat diucapkan.
b.    Tidak menolak pemberian yang berwasiat.
c.    Bukan pembunuh orang yang berwasiat.
d.   Bukan ahli waris yang berhak menerima warisan dari orang yang berwasiat, kecuali atas persetujuan ahli waris lain.
Rasulullah SAW. bersabda:
لاوصية لوارث الا ان يجيز الورثة (رواه الدارقطنى)
Artinya:
“Tidak boleh berwasiat kepada orang yang menerima warisan kecuali ahli-ahli warisnya membolehkannya”. (HR. Daruquthni)

3.    Syarat-syarat harta /sesuatu yang diwasiatkan:
a.    Jumlah wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan.
b.    Dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain.
c.    Harus ada ketika wasiat diucapkan.
d.   Harus dapat memberi manfaat.
e.    Tidak bertentangan dengan hukum syara’, misalnya wasiat agar membuat bangunan megah diatas kuburannya.
4.    Syarat-syarat sighat:
a.    Kalimatnya dapat dimengerti atau dipahami, baik dengan lisan maupun tulisan.
b.    Penerimaan wasiat diucapkan setelah orang yang berwasiat meninggal dunia.

D.  Pelaksanaan Dalam Wasiat
1.      Kadar Wasiat
Sebanyak-banyaknya wasiat adalah 1/3 dari harta yang dipunyai oleh orang yang berwasiat. Yaitu harta bersih setelah dikurangi utang apabila orang yang berwasiat meninggalkan utang. Misalnya, orang yang berwasiat meninggal dunia dan meninggalkan harta berupaa uang 1 milyar. Ternyata ia mempunyai utang 500 juta, maka uang wasiat yang dikeluarkan adalah 1/3 dari 500 juta, bukan 1/3 dari 1 milyar.
        Rasulullah SAW. bersabda:
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قا ل الثلث والثلث كثير
 (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW. telah bersabda, ‘wasiat itu 1/3, sedangkan 1/3 itu sudah banyak”. (HR. Bukhari dan Muslim)
        Berdasarkan hadits di atas, banyak ulama menetapkan, sebaiknya wasiat itu kurang dari 1/3 bagian dari harta yang dimiliki, apalagi bila ahli warisnya terdiri dari orang-orang yang membutuhkan harta warisan untuk biaya hidup.

2.      Wasiat bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris
        Adapun kadar wasiat bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris, para ulama berbeda pendapat, antara lain sebagai berikut:
a.    Sebagian berpendapat bahwa orang yang tidak mempunyai ahli tidak boleh berwasiat lebih dari 1/3 harta miliknya. Alasan mereka didasarkan kepada hadits-hadits Nabi SAW. yang shahih yang mengatakan bahwa 1/3 itu pun sudah banyak, dan Nabi SAW. tidak memberikan pengecualian kepada orang yang tidak mempunyai ahli waris.
b.    Sebagian ulama lain berpendapat, bahwa orang yang tidak mempunyai ahli waris boleh mewasiatkan lebih dari 1/3 hartanya. Mereka beralasan bahwa hadits-hadits Nabi SAW. yang membatasi 1/3 adalah karena ada ahli waris yang sebaiknya ditinggalkan dalam keadaan miskin. Maka apabila ahli waris tidak ada, pembatasan 1/3 itu tidak berlaku. Pendapat diatas dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Ubadah, Masruq, dan diikuti oleh ulama-ulama Hanafiah.

E.  Berwasiat Kepada Pembunuh
       Apabila seorang berwasiat kepada seseorang, kemudian orang yang menerima wasiat itu membunuh orang yang memberi wasiat, maka para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan sah atau tidaknya wasiat itu.
1)   Fukaha Syafi’iyah dan Syi’ah Imamiyah berpendapat, bahwa wasiat itu sah, walaupun pembunuhan dilakukan dengan sengaja ataupun motif lain seperti ingin mempercepat kematian orang yang memberi wasiat itu, agar segera memperoleh harta yang diwasiatkan. Tindakan orang tersebut menyebabkan dia tidak mendapatkan warisan dari orang yang dibunuhnya itu, tetapi tidak menafikkan untuk menerima harta yang diwasiatkan kepadanya.
2)   Fukaha Hanafiyah mengesahkan wasiat kepada orang yang membunuhnya, asal saja pembunuhan itu tidak ada karena unsur sengaja atau karena silap. Kalau ada unsur sengaja maka wasiat itu batal dengan sendirinya. Kalau pembunuhan itu karena silap, (seperti memukulnya dengan benda yang menurut kebiasaannya tidak sampai mematikan dan memang tidak ada niat untuk membunuhnya), maka wasiat itupun batal juga, kecuali ada izin dari pihak ahli waris. Dalam hal ini sah atau tidak wasiat itu tergantung kepada ahli waris, karena hak mereka akan dikurangi. Jadi, pembunuhan dengan sengaja wasiat itu tetap batal, walaupun ada izin dari pihak ahli waris.
3)   Imam Abu Yusuf berpendapat, bahwa wasiat itu tidak sah walaupun ahli waris mengizinkannya, apalagi tidak mengizinkannya. Beliau berpegang kepada hadis Nabi SAW. :
لاوصية لقا تل
“Tidak ada (hak menerima) wasiat bagi si pembunuh.”
               Menurut Abu yusuf, hadits ini harus dipahami secara umum, dan tidak boleh diberikan pengecualian apapun. Oleh ad-Quthny dan Baihaqi, hadits ini dipandang daif.
     
F.   Hikmah Wasiat
1.      Menaati perintah Allah SWT. Sebagaimana tertuang dalam QS Al-Baqarah/2:180.
2.      Sebagai amal jariyah seseorang setelah dirinya meninggal dunia.
3.      Menghormati nilai-nilai kemanusiaan, terutama bagi kerabat atau orang lain yang tida mendapat warisan.

G. Hal- Hal Yang Membatalkan Wasiat
1.      Wasiat itu dijabut atau dibatalkan sendiri oleh yang memberi wasiat tanpa memerlukan persetujuan pihak yang akan menerima wasiat. Pembatalan itu bisa berbentuk dijualnya harta yang menjadi obyek wasiat itu oleh yang berwasiat atau mengalihkan wasiat yang sudah disampaikannya itu kepada pihak lain atau ia berwasiat menambah, mengurangi, atau menukar materi yang sudah diwasiatkannya.
2.      Wasiat tersebut bisa pula batal bila pihak yang berwasiat terkena penyakit gila sampai ia meninggal dunia.
3.      Wasiat bisa pula batal apabila pihak yang akan menerima wasiat lebih dahulu wafat dari orang yang berwasiat.
4.      Wasiat juga bisa batal apabila harta yang diwasiatkan itu musnah atau hilang atau habis sebelum pihak yang berwasiat meninggal.
5.      Wasiat batal apabila pihak yang akan menerima wasiat membunuh pihak yang berwasiat kepadanya secara tidak hak, atau berencana untuk membunuh pihak yang berwasiat namun, rencana itu tidak terlaksana akibat sesuatu hal di luar kamampuan pihak yang menerima wasiat. 

DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Ali. 2004. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat). Jakarta: PT Raja Rrafindo Persada.
Karim, Helmi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo persada.
Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar