''Orang-orang
yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain. Mereka menyuruh pada kemakrufan, mencegah kemungkaran,
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.''
(QS At-Taubah: 71).
Imam
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa hati mereka menyatu dalam
kehangatan, kasih sayang, dan saling merasakan. Para pria mukmin dan para
wanita mukmin bisa saling tolong. Mereka memiliki kerja sama yang baik dan
saling mengisi dalam melakukan kemakrufan dan mencegah kemungkaran, mendirikan
salat, menunaikan zakat, dan melaksanakan seluruh ketaatan dan ketundukan kepada
hukum syariat Allah Swt.
Dengan
demikian, jelaslah, bahwa syariat Islam itu tidak bias gender, tidak bias
kelelakian, dan tidak bias keperempuanan. m Juga, dalam ayat tersebut di atas
begitu jelas bahwa tugas wanita dalam pandangan Islam bukan seputar sumur,
kasur, dan dapur. Namun, juga ada aktivitas dakwah dan amar makruf nahi mungkar
yang dalam sekala tertentu bisa merupakan aktivitas politik tinggi.
Tatkala
Khalifah Umar mengumumkan kebijakan larangan mahar tinggi, seorang wanita
memprotesnya lantaran kebijakan itu bertentangan dengan firman Allah, ''sedang
kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka
janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun.'' (QS An-Nisa:
20). Khalifah Umar pun langsung mengoreksi kebijakan itu.
Masih banyak
kisah lain yang menunjukkan peranan politik penting wanita Islam di masa
kejayaan islam. Namun, di samping memiliki tugas publik, tugas utama muslimah
adalah tugas domestik, sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Ikut aktif
dalam aktivitas politik di tengah-tengah umat bukan berarti boleh baginya untuk
meninggalkan atau melalaikan tugas utamanya di rumah. Jika ada benturan, dia
mesti melaksanakan tugas utamanya. Namun, dia juga tidak boleh melalaikan tugas
publiknya. Dia harus segera mencari jalan keluar agar tugas publik maupun
domestiknya bisa sama-sama terlaksana.
Kalau wanita mengerjakan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, bukan berarti ia pada posisi rendah.
Kalau wanita mengerjakan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, bukan berarti ia pada posisi rendah.
Ibarat
kesebelasan, posisi penjaga gawang bukanlah posisi rendah. Justru posisi utama
yang menentukan kemenangan. Jika wanita tidak melahirkan dan mengasuh anak,
siapa yang melahirkan para pejuang, para ulama, para insinyur, dan para ahli
ilmu pengetahuan, serta para tentara? Oleh karena itu, pantaslah dikatakan
wanita sebagai tiang negara. Jika, sebagai tiang dia lengah, ambruklah
negaranya. Na'uzubillahiminzalik!
Sumber :
Republika Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar