KHUTBAH JUM’AT
AMANAH KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ
اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِنّ
الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ
مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا و مِنْ َسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ
فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ
وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
أَمَّا
بَعْد
يَاأَيّهَا
الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْن
Hadirin Sidang Jum’at Yang Dirahmati Oleh Allah Swt
Sebagai seorang khatib disetiap jum’at selalu berwasiat kepada diri
khatib sendiri dan juga kepada seluruh jama’ah jum’at untuk terus meningkatkan
kualitas taqwa kita kepada Allah Swt yakni dengan cara melaksanakan semua
perintah Allah Swt dan meninggalkan semua larangan Allah Swt tanpa harus
memilih-milih perintah dan larangan yang selaras bagi diri kita saja dan
menafikan perintah dan larangan lainnya.
Hadirin Jamaah Jum’at Rahimakumullah
Pada kesempatan jum’at ini, Khatib ingin sekali mengajak kepada kita
semua untuk melakukan kontemplasi secara mendalam dalam mengarungi amanah
kepemimpinan dimuka bumi ini. Berawal dari sebuah hadits Rasulullah Saw yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya:
Artinya : “Disampaikan kepada kami oleh Abu Al-Yaman, kami diberitahu
oleh Syu’aib dari Al-Zuhri berkata, disampaikan kepadaku oleh Slim bin Abdullah dari
Abdullah bin Umar ra. bahwa ia telah mendengar Rasulullah Saw bersabda; setiap
kalian adalah pemimpin dan akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, seorang
imam adalah pemimpin dan ia akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, seorang
pria adalah pemimpin dan akan dipinta laporan pertanggungjawabannya, seorang
wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia akan dipinta laporan pertanggungjawabannya,
seorang pembantu adalah pemimpin terhadap amanah atasannya dan ia akan dipinta
laporan pertanggungjawabannya. Lanjutnya, dan seorang anak adalah pemimpin
terhadap amanah orangtuanya dan ia akan dipinta laporan pertanggungjawabannya,
maka kalian semua adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dipinta laporan
pertanggungjawabannya.” (HR. Al-Bukhari).
Dari hadits tersebut, sungguh begitu rinci Rasulullah Muhammad Saw
dalam mengklasifikasi arti dan tugas kepemimpinan dalam Islam. Dan ungkapan
yang selalu diulang-ulang olehnya “dan akan dipinta laporan
pertanggungjawabannya” merupakan bukti sangat ditekankannya untuk menunaikan
amanah kepemimpinan dari setiap orang. Maka sungguh menjadi orang yang sangat
merugi jika harus bertanggungjawab di hadapan Allah dengan bukti kezhaliman, bukti
kedurhakaan, bukti ketakaburan, dan bukti kemunafikan, na’udzubillahi min
dzalik. Lalu bagaimanakah cara membangun kepribadian yang berdiri di atas
pondasi amanah tersebut;
1.
Selalu Mengingat Allah Swt.
Sebuah ungkapan yang begitu mudah terlontar dari lisan namun sulit
dalam tataran implementasi. Namun bukan berarti kita harus pesimis dalam
menerapkannya, karena siapapun yang terus berusaha pasti akan mendapatkan hasil
yang baik. Adapun kata mengingat Allah sering di disebut dengan istilah dzikrullah,
dan jika dicari syarah atau penjelas dari kata tersebut maka di dapatkan bahwa
alat untuk mengingat Allah itu adalah ; (1) Lisan, dalam artian bahwa seluruh
ungkapannya adalah kebaikan, tidak ada hinaan, fitnah, kebohongan, dusta dll.
(2) Akal, yakni seluruh pikirannya harus selalu berkeinginan untuk membangun
nilai-nilai peradaban yang baik atau dalam bahasa keagaaman sering disebut
dengan masyarakat yang tamaddun, bukannya malah untuk mencari keuntungan
pribadi dan kelompok. (3) Perbuatan, yakni semua kemampuannya dikeluarkan demi
mencapai dan membangun visi yang sudah tertanam di dalam akal tadi, sehingga
ketidakadilan, kezhaliman dan penindasan akan dengan sendirinya akan mudah
dinegasi di dalam kehidupan kita.
Jika ini semua terbangun dengan baik, maka dengan sendirinya Allah
Swt yang akan menolong dan membatu serta menenangkan diri kita. Pantas jika
kemudian Allah Swt sangat menekankan pentingnya dzikrullah ini,
sebagaimana Firman-Nya “ala bidzikrillah thatma’innul qulub” (hanya
dengan mengingat Allah maka hati menjadi tenang), bukan sekedar hati sang
pendzikir tapi juga semua yang berada disekelilingnya merasa nyaman dan aman.
Ketika visi ini yang dibangun di dalam diri maka apakah masih akan
ada politik kotor dalam kepemimpinan kita. Mungkinkah kehendak untuk korupsi
masih akan hadir, apakah perasaan sombong dan takabur akan mudah kita telan di
dalam diri kita ? Tentunya tidak, karena Sang Maha Suci yakni Allah Swt pasti
akan menjaga siapapun yang telah mensucikan kepribadiannya. Namun jika tidak,
maka inilah sama seperti yang telah dijelaskan oleh Allah Swt di dalam
firmannya, ketika ada suatu kaum yang diberikan kelebihan segalanya, namun
karena ia abaikan Allah Swt dalam dirinya maka dengan begitu mudah pula Allah Swt
menghancurkan mereka. Allah Swt Berfirman:
z>uÑur
ª!$#
WxsWtB
Zptös%
ôMtR$2 ZpoYÏB#uä Zp¨ZͳyJôÜB
$ygÏ?ù't
$ygè%øÍ #Yxîu `ÏiB
Èe@ä. 5b%s3tB ôNtxÿx6sù
ÉOãè÷Rr'Î/
«!$#
$ygs%ºsr'sù
ª!$#
}¨$t6Ï9 Æíqàfø9$# Å$öqyø9$#ur
$yJÎ/ (#qçR$2
cqãèuZóÁt ÇÊÊËÈ
Artinya : “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan)
sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya
melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari
nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan
dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (Q.S An-Nahl :
112)
Hadirin Sidang Jum’at Yang Dirahmati Allah Swt
Tahap selanjutnya adalah mengenai pengendalian diri dalam gairah
cantik dan megahnya kursi kekuasaan, yakni:
2.
Jangan Meminta-Minta Menjadi
Pemimpin.
Mengenai hal ini, Rasulullah Saw pernah menasehati Abu Dzar yang
saat itu meminta salah satu jabatan sebagai seorang Qadhi atau Hakim, padahal
ia juga adalah seseorang yang dekat dengan Rasulullah Saw, Beliau bersabda; “Sesungguhnya
engkau ini lemah, sementara jabatan adalah amanah, di hari kiamat dia akan
mendatangkan penyesalan dan kerugian, kecuali bagi mereka yang menunaikannya
dengan baik dan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban atas dirinya” [HR.
Muslim].
Ungkapan Rasulullah Saw di atas sejalan dengan apa yang telah
diajarkan Allah kepadanya melalui sejarah Nabi Yusuf As. di dalam Al-Qur’an, di
mana ketika seorang Raja memintanya untuk menghadap dan diberikan jabatan tinggi
di kerajaannya, namun Nabi Yusuf As tidak menerimanya, namun ia memberikan
masukan kepada sang raja agar ia dapat duduk di pos yang memang menjadi
keahliannya, dan bukan mencari tempat-tempat yang kemudian memberikan
keuntungan pribadinya semata. Adapun kriteria kemampuan diri itu adalah;
ikhlas, amanah, memiliki keunggulan dari kompetitor lainnya, dan jika wewenang
itu digunakan oleh orang lain maka akan memunculkan bencana dan keterpurukan.
Ungkapan lain yang dapat kita gunakan sebagai bahan ajar kehidupan
kita adalah hadits Rasulullah Saw yang juga diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abu
Hurairah ra. Yakni;
Artinya : “jika suatu pekerjaan diberikan kepada yang bukan
ahlinya maka tunggulah kehancurannya.”
Hadirin, sesungguhnya kemampuan untuk memimpin itu adalah anugerah sekaligus laknah,
anugerah jika
dijalankan secara profesional namun menjadi laknah ketika hanya kebutuhan
syahwat dan perut yang dikedepankan. Selanjutnya adalah
3.
Kuat dan Penuh Dengan Cinta.
Istilah kuat di ambil dari Al-Qur’an yang dikenal dengan “al-qawiy
al-amin” kuat dan amanah. Imam Al-Thabari di dalam kitabnya Tafsir Al-Thabari menjelaskan bahwa kata “al-amin”
maksudnya adalah kuat secara fisik dan juga kuat secara intelektual. Artinya,
seorang pemimpin harus mampu bergerak cepat dalam memimpin demi kesejahteraan
siapapun yang dipimpinnya, dan secara intelektual menunjukkan bahwa seorang
pemimpin selain harus kerja keras tapi juga harus kerja cerdas.
Adapun tentang rasa cinta atau kasih sayang seorang pemimpin kepada
rakyatnya digambarkan oleh Rasulullah beserta para khalifahnya melalui ciuman
sayang kepada anak-anak. Dalam hal ini, dikisahkan bahwa pada suatu hari ada
seseorang yang dipanggil oleh Umar untuk diangkat menjadi pemimpin di salah
satu negeri Islam, ketika ia melihat Umar sedang menciumi dan bersenda gurau
dengan anak-anaknya, lalu ia bertanya tentang prilaku Umar tersebut. Umar-pun
menjawab dengan sebuah pertanyaan, “apakah engkau tidak pernah melakukan hal
seperti ini ?” dan dijawab “tidak pernah”, maka pada saat itu juga ia
mengatakan, “kalau begitu aku tidak jadi mengangkatmu jadi amir, karena rahmat
Allah sangat jauh darimu”.
Ungkapan terakhir Umar sangatlah menggugah, di mana Rahmat Allah jauh dari
orang-orang yang tidak memiliki rasa cinta dan kasih sayang. Artinya,
sinergitas antara pemimpin dengan rakyat dapat dibangun jika sang pemimpin
mampu menyayangi siapapun yang akan bekerja bersamanya. Karena meskipun sang
pemimpin begitu hebat namun rakyatnya membenci maka tidak ada guna kehebatannya
bagi rakyat.
4.
Jangan Mengambil Kesempatan
Melalui Jalur Kedekatan Emosional.
Rasulullah Saw telah bersabda; “barang siapa yang menempatkan
seseorang karena hubungan kerabat, sedangkan masih ada orang yang lebih Allah
ridhai, maka sesungguhnya dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang
mukmin”. (HR. Al-Hakim).
Umar bin Khatab juga pernah berkata; “Siapa yang menempatkan
seseorang pada jabatan tertentu, karena rasa cinta atau karena hubungan
kekerabatan, dia melakukannya hanya atas pertimbangan itu, maka sesungguhnya
dia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin”.
Sungguh tegas ungkapan para petinggi awal Islam ini dalam menegaskan
tingginya amanah kepemimpinan. Amanah yang kecil hubungannya dengan manusia
namun begitu besar di hadapan Allah. Oleh karenanya, jika yang menjadi
petimbangan agung dalam menetapkan para pemimpin adalah karena faktor kedekatan
emosi, maka begitu banyak yang akan tersakiti Terkhusus bagi mereka yang memang
lebih berhak untuk duduk di sana. Dalam hal ini, ada sebuah kaidah berpikir di dalam
materi ushul fiqih yakni menelaah dari makna tersirat atau yang dikenal dengan
istilah mafhum mukhalafah untuk menelaah prilaku negatif di atas.
Objek kajian dari materi ini adalah adanya dosa jariyah bagi yang mengangkat
siapapun karena faktor emosi dan bahkan orang yang bukan ahlinya sedangkan ada
yang lebih berhak untuk duduk di sana. Dasar awalnya sebagai materi mafhum
muwafaqah atau pemahaman yang tersurat adalah hadits tentang amal jariyah, di mana amal tersebut
akan terus mengalir bagi siapapun yang memberikan manfaat positif bagi semua
orang atau sosial. Artinya, jika ada yang memberikan kemudharatan sosial secara
tersetruktur, maka dosanya akan terus mengalir meskipun ia telah meninggal
dunia, inilah pemahaman terbalik dari tersurat yakni pemahaman tersirat atau
yang disebut dengan mafhum mukhalafah, wal’iadzu billah. Hal ini
sejalan dengan ungkapan Rasulullah Muhammad Saw ; “barang siapa dalam Islam melestarikan
tradisi yang buruk, maka baginya dosa dan dosa orang-orang yang melaksanakan, sesudahnya tanpa
menguarangi dosa-dosa mereka sedikit pun” [HR. Muslim].
Hadirin Sidang Jum’at Rahimakumullah
Inilah sebagian kecil kajian ke-Islaman tentang amanah kepemimpinan
dalam Islam, semoga dalam perjalan waktu kita ini, Allah Swt terus memberikan bimbingan-Nya
kepada kita sehingga dapat terlepas dari murka-Nya, amin ya rabbal ‘alamin.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ
فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبِّلَ الله مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنَّهُ
هُوَاالسَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أقُوْلُ قَوْلِي هَذا وَأسْتَغْفِرُوا اللهَ
الْعَظِيْمَ لَيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ
الرَّحِيْمُ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar