Feri Irawan, S.Pd.I : Selamat datang di blog ini. Silahkan browsing dan jangan lupa tinggalkan komentar sobat.

Rabu, 16 April 2014

PANDUAN RINGKAS PERAWATAN JENAZAH MENURUT MADZHAB IMAM SYAFI’I


A.    Sebelum kita membahas masalah perawatan jenazah,  terlebih dahulu kita membahas masalah “Hal-hal yang berhubungan dengan harta mayyit”.
Ketika seseorang meninggal dunia, maka harta yang ditinggalkan berkaitan dengan lima hal:
1.      Apabila pada massa hidupnya si mayyit tidak membayar zakat, padahal ia terkena kewajiban zakat, maka segerakanlah dikeluarkan zakatnya. Tetapi apabila dia tidak ada hutang zakat, maka tidak usah dikeluarkan.
2.      Hutang: apabila si mayyit mempunyai hutang kepada orang lain, maka segerakanlah membayar hutangnya dengan mengambil dari harta yang ditinggalkannya.
3.      Wasiat: apabila sebelum meninggal si mayyit pernah berwasiat untuk menginfakkan sebagian hartanya, maka wajib bagi kita melaksanakan wasiat tersebut dengan syarat “harta yang diinfaqkan tersebut di bawah 1/3(sepertiga dari keseluruhan harta).
4.      Biaya perawatan jenazah: si mayyit berhak mendapatkan perawatan jenazah yang layak, apabila harta yang ditinggalkan mencukupi.
5.      Untuk pembagian waris: setelah empat hal di atas  sudah dibayar, maka bolehlah sisa hartanya tersebut dibagikan kepada ahli warisnya, sesuai ketentuan hukum waris agama Islam.

B.     Yang wajib kita lakukan  kepada mayyit muslim yang tidak meninggal dalam keadaan syahid (mati dalam perperangan membela Islam) ada empat perkara:
1.      Memandikan
2.      Mengkafani
3.      Menshalati
4.      Menguburkan

BAB SATU: MEMANDIKAN JENAZAH

A.    Kadar Minimal Memandikan Mayyit
Mandi yang dianggap  sah paling  minimal adalah: “meratakan seluruh badan mayyit dengan air”.

B.     Sunnah-sunnah dalam Memandikan mayyit
Adapun kalau kita ingin memandikan mayyit secara sempurna, maka  kita melakukan hal_hal berikut:
1.            Niat: sunnah bagi yang memandikan mayyit untuk berniat. (niat bukan merupakan rukun dari  memandikan mayyit, menurut mayoritas ulama mahzab Syawfi’i, tetapi hanya sunnah saja. Berdasarkan  keterangan Imam An-Nawawi  dalam kitabnya Minhajudth Thalibin).
Yang dimaksud dengan niat disini adalah< hadirnya niat di dalam hati, jadi kalau yang memandikan tersebut bahwa dia sedang memandikan mayyit maka dia sudah dianggap berniat.
Adapun melafadzkan niat dalam memandikan jenazah, bukanlah wajib.  Adapun lafadz niatnya menurut Imam Hajar) adalah:
نويت ادا ءالغسل عن هذا الميت فرض كفاية لله تعالى
Artinya: “Sengaja aku menunaikan memandikan mayyit ini sebagai fardu kifayah  karena Allah”.

Catatan:
v  Kalimat “mayyit “ bermakna: orang yang mati, baik untuk laki-laki maupun perempuan  atau untuk anak-anak atau orang dewasa.
v  Lafadz niat di atas sebagai contoh saja, kalaupun ada lafadz-lafadz yang lain, hukumnya tidak masalah, yang penting pada lafazd itu ada isyarat berniat memandikan mayyit.
2.            Meletakkan badannya di te tempat yang tinggi (maksudnya tidak sejajar dengan lantai).
3.            Melepaskan bajunya, lalu menutupi tubuhnya dengan baju gamis, hingga nanti ketika dimandikan ia tetap menggunakan gamis tersebut dan yang memandikan memasukkan tangannya dari balik gamis. (Karena nabi saw ketika meninggal dimandikan dengan memakai gamis sebagaimana hadits riwayat Abu Dawud).
4.            Memandikan mayyit di tempat tertutup dantidak ada yang masuk kecuali yang berkepentingan dalam memandikan.
5.            Yang memandikan menggunakan sarung tangan, hingga tidak langsung menyentuh aurat mayyit.
6.            Orang yang memandikan harus orang yang dipercaya ( H.R ibnu Majah).
7.            Menundukan mayit dengan menyandarkan punggung mayyit dengan lutut kanannya (yang memandikan), lalu memegang  kepala mayyit agar tidak miring.
8.            Menekan dengan perlahan perut mayyit, agar kotoran yang ada di dalam perut mayyit keluar.
9.            Lalu mengistinjakkannya (membersihkan kubul dan dubur nya) dengan menggunakan sarung tangan.
Catatan: tidak perlu berniat  dalam mengistinja’kan mayyit.
10.        Membersihkan kotoran di telinga, hidung dan mulut mayyit  dengan menggunakan jari-jari  dan sarung tangan yang baru (bukan yang bekas digunakn bekas istinja’).
11.        Mewudhukan mayyit  sebelum memandikannya ( H.R Bukhari Dan Muslim).
Lafazd niatnya: (menurut ulama mahzzb syafi’i).
نويت اداء الوضوء عن هذا الميت
Nawaitul Adaa alwudhuui’an hadzal mayyiti
12.        Ketika memandikan mayyit hendaknya mendahulukan bagian sebelah kanan (H.R Bukhari dan Muslim).
13.        Membasuh badan mayyat dengan air sebanyak tiga atau lima kali atau lebih, yang penting bilangannya ganjil (H.R Bukhari dan Muslim).
14.        Pada basuhan yang pertama  menggunakan air dan daun sidr (kalau tidak ada, maka sabun pun bisa), lalu pada basuhan terakhir berikan kapur barus (atau jenis harum-haruman) H.R  Bukhari dan Muslim.
Catatan; kalau ada orang yang meninggal orang yang sedang ihram haji, mak tidak boleh diberikan sabun dan wangi-wangian (H.R Bukhari dan Muslim).
15.        Ikatan rambut mayyit dibuka apabila rambut mayyit panjang (H.R bukhari dan Muslim).
16.        Khusus wanita, rambutnya dikepang menjadi tiga lalu  diletakkan dibelakangnya (H.R bukhari dan Muslim).
17.        Menyisir rambut mayyit (H.R Bukhari dan Muslim).

C.    Hal-hal yang Diperhatikan dalam Memandikan Jenazah
1.            Apabila mayyit adalah bperempuan yang bersuami, maka yang paling berhak memandikannya adalah suaminya, berdasarkan nabi kepada ‘Aisyah: “ Kalau Seandainya kau meninggal sebelum aku, maka akulah yang memandikanmu dan mengkafanimu” (H.R Al- Baihaqi dan daruquthni). Begitu juga ketika putrid nabi yang bernam Fatimah wafat, yang memandikannya adalah suaminya (Ali bin Abi Thalib).
2.            Jika yang meninggal suami, maka yang paling berhak  memandikannya ialah istrinya berdasarkan ijma’ (kesepakatan) ulama sesuai dengan perkataan ‘Aisyah bahwa kalau bukan karena wasiat dari nabi saw agar beliau  jika wafat dimandikan oleh Ali, maka yang paling berhak memandikan nabi saw adal;ah  istri-istrinya (H.R An-Nasa’I dan Ibnu Hibban).
3.            Apabila mayyit ketika meninggal  tidak mempunyai suami / istri maka yang berhak memandikannya, jika mayyit perempuan, maka yang memandikannya adalah anak perempuan dan jika laki-laki, maka yang memandikannya juga laki-laki.
4.            Yang paling berhak  memandikan mayyit selain suami / istri adalah anak laki-lakinya terus berikutnya berdasarkan kedekatan dari hubungan nasab atau kerabat.
5.            Apabila mayyit perempua, lalu tidak ada keluarga juga tidak ada perempuan di daerah tersebut, maka mayyit tersebut ditayamumkan, juga sebaliknya.
6.            Jika yang memandikan mayyit melihat hal-hal aneh yang betrsifat buruk pada mayyit ketika dimandikan, maka haram baginya untuk menceritakan hal tersebut klepada orang lain, berdasarkan sabda nabi saw “Barang siapa yang memandikan mayyit lalu ia sembunyikan apa-apa yang ada pada mayyit (kejelekan) maka diampuni dosanya empat puluh kali” (HR. Al-Baihaqi).
7.            yang memndikan mayyit  melihat sesuatu yang baik, maka disunnahkan  untuk menceritakannya.
8.            Diharamkan memandikan orang Islam yang mati syahid dalam peperangan membela agama Islam, karena darahnya nanti akan bersaksi di hari kiamat dan akan lebih wangi dari minyak kasturi (misk), maka itu nabi saw tidak memandikan para syuhada perang uhud (H.R Bukhari).
9.            Diharamkan memberiwangi-wangian kepada mayyit yang meninggal dalam keadaan ihram haji, karena walaupun ia meninggal, statusnya masih ihram haji. Kepalanya juga tidak boleh ditutup, karena nanti dia dibangkitkan dalam keadfaan bertalbiyah, berdasarkan H.R  Jamaah.

BAB DUA: MENGKAFANI JENAZAH

A.       Kadar minimal pada Kain Kafan
Minimal kain kafan itu adalah baju atau kain yang menutup seluruh badan mayyit. Ini semua kalau keadaan mendesak atau mayyit tidak mempunyai harta warisan untuk membeli kain kafan dan tidak ada orang yang membantu.

B.        Kadar Sempurna pada Kain Kafan
Kain Kafan memenuhi standar kesempurnaan  adalah:
1.      Berwarna putih (H.R Abu Dawud dan At -Turmudzi)
2.      Bagus dan suci (H.R Ibnu Majahdan At-turmudzi)
3.      Kain kafan diberi wangi-wangian atau diasapkan dengan asap yang wangi, apabila kapan diasapkan maka disunnahkan sampai tiga kali (H.R Ahmad dan Al-Hakim)
4.      Untuk laki-laki menggunakan tiga lapis kain kafan (H.R Jama’ah)
5.      Untuk perempuan menggunakan lima lapis kain kafan atau dua lapis kain kafan ditambah dengan sarung yang menutupi dari dada ke lutut dan ditambah baju gamis  yang menutupi seluruh badannya juga jilbab, berdasarkan riwayat dari Ummu ‘Athiyyah
6.      Kain kafan bukan yang terlalu mahal  (H.R Abu Dawud).

C.   Tata Cara Memakaikan  Kain Kafan
1.      Hamparkan selembar tikar  di atas lantai lalu bentangkan empat untas tali  di atasnya. Kira-kira letaknya di tempat kepala, tangan, lutut dan mata kaki jenazah.
2.      Hamparkan di atas tikar tersebut kain kafan yang sudah disiapkan sehelai demi sehelai dan setiap helainya diberi wangi-wangian.
3.      Jenazah hendaknya duberi kapur barus halus, kemudian diletakkan di atas hamparan kain kafan yang telah tersedia.
4.      Tempelkan kapas secukupnya pada bagian muka jenazah, pusarnya, kelaminnya dan duburnya.
5.      Setelah itu seluruh tubuh mayyit dibalut dengan kain kafan, lalu diikat dengan empat utas tali yang sudah disiapkan dibagian kepala, tangan lutut dan mata kaki.
6.      Ada pendapat yang menyunnahkan pada kain kafan lapisan yang ketiga itu ada gari-garisnya, berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud.

Catatan:
Khusus yang meninggal dalam keadaan ihram haji, maka jangan ditutupi kepalanya, kalau ia laki-laki. Adapun kalau perempuan maka jangan ditutupi wajahnya.

BAB TIGA: SHALAT JENAZAH

A.       Orang Yang Haram Dishalatkan
1.      Orang kafir atau murtad
2.      Orang Islam yang mati syahid karena perang membela agama Allah (sebagaimana nabi saw tidak menshalatkan para syuhada uhud dalam hadits riwayat Bukhari). Adapun hikmahnya karena dosa mereka langsung diampuni.
3.      Anak yang meninggal dalam kandungan, kecuali kalau ketika lahir bayi tersebut masih bergerak-gerak atau menangis atau meninggal, maka tetap dishalatkan (sebagaimana sabda nabi saw dalam hadits riwarat  At-Turmudzi dan Ibnu Majah: { “ Seorang bayi itu jika meninggal tidak dishalatkan, tidak mewariskan sampai dia bergerak-gerak”}. Maksudnya menunjukkan kehidupan walaupun sebentar). Ini adalah pendapat mayoritas ulama termasuk Imam Syafi’i. Adapun menurut Imam Ahmad, bayi yang lahir dalam keadaan yang meninggal, hukumnya tetap dishalatkan, karena bayi tersebut ketika empat bulan di dalam kandungan ia telah ditiupkan ruh.

B.        Syarat-syarat Shalat Jenazah
1.      Orang yang menshalatkan adalah orang Islam, aqil, baligh, suci dari dua hadats, suci dari hadast di badan  pakaian dan tempat juga menutup aurat dan menghadap kiblat, seperti syarat shalat.
2.      Shalat jenazah syah dilakukan apabila mayyit sudah dimandikan
3.      Mayyit diletakkan  di depan imam, hingga salah satu bagian dari badan mayyit sejajar dengan imam

C.       Rukun Shalat Jenazah
1.      Niat; yang dimaksud dengan niat disini adalah ketika orang melakukan shalat jenazah, di dalam hatinya ketika takbirratur ihram sadar bahwa ia sedang menshalatkan jenazah. Adapun melafazdkan niat, menurut mahzab Imam Syafi’I hukumnya sunnah.
Lafazd yang bisa kita ucapkan salah satunya yaitu:
اصلي على هذا الميت اربع تكبيرات فرض لله تعالى
Ushalli ‘ala hadzal  mayyiti  arba’a takbiraatin farad kifayatin  lillahi ta’aala (sengaja aku menshalati atas jenazah ini dengan empat kali takbir, karena allah ta ‘ala).

Catatan:
a.          Kalimat di atas hanya contoh saja, adapun kalau ada lafazd yang lain, maka tidak masalah. Yang penting ada niat untuk menshalatkan.
b.         Kalimat “fardu kifayatin” tidak wajib dihadirkan di dalam hati, menurut mayoritas ulama Syafi’i (lihat kitab Minhajuth Thalibin, Imam Nawawi).
c.          Tidak wajib menyebutkan nama si mayyit, tetapi kalau disebutkan lalu salah, maka niatnya tidak sah (lihat kitab Minhajut An Nawawi).
d.         Tidak wajib menghadirkan jumlah takbir dan lillahi ta ‘ala di dalam hati ketika niat.
e.          Kalimat “mayyit “ bermakna orang yang meninggal, baik bagi lak-laki, perempuan anak kecil atau dewasa.
f.          Kalau jenazahnya banyak, maka lafazd niatnya:
اصلي على من حضر من اموات المسلمين اربع تكبيرات فرض لله تعالى
Usshalii ‘ala hadhara min amwatil muslimiin arba’a takbiiratin farad kiifayatin lillaahi ta’ala. (sengaja aku menshalati atas orang-orang meninggal dari kaum muslimin empat takbir fardu kifayah karena Allah ta’la
g.         Adapun bagi makmum, cukuplah melafazdkan niat
اصلي على من صلى عليه الامام اربع تكبيرات فرض كفاية ما موما لله تعلى
Ushalli ,ala man shalla ‘alaiihil imam arba’a takbiiratin lillahi ta’ala (sengaja aku menshalati atas yang dishalati imam empat takbir sebagai ma’mum fardu kifayah karena Allah)
h.         Adapun kalau jenazahnya 2 orang maka bisa menggunakan lafazd niat di atas (jenazah banyak) atau dengan kalimat.
اصلي على هذ ين الميتين اربع تكبيرات فرض كفاية لله تعلى
Ushallii ‘ala hadzaiinil mayyitaiini arba’a takbiratin farad kiifayatin lillaahi ta’ala (sengaja Aku menshalati atas dua mayyit ini empat takbir sebagai ma’mum fardu kifayah karena  Allah ta’ala
2.      Berdiri bagi yang mampu
3.      Empat kali takbir (termasuk takbiratul ihram) dalam hadits riwayat bukhari dan Muslim nabi saw mmelakukan shalat ghaib untuk Najasyi dengan empat kali takbir
Catatan: “boleh saja menambah takbir lebih dari empat kali, karena ada riwayat yang menyebutkan nabi  saw takbir sampai lima kali, enam kali bahkan sampai Sembilan kali (H.R At-Thahawi)
4.      Membaca al-fatihah sesudah takbir pertama(takbiratul ihram (H.R Bukhari)
5.      Membaca shalawat kepada nabi saw setelah takbir kedua (H.R Al-Baihaqi dan Al-Hakim) yqng pqling afdhal membaca shalawat ibrahimmiyah, yaitu:
اللهم صل على محمد وعلى ال محمد كماصليت على ابرا هيم وعلى ال ابرا هيم, وبارك على محمدوعلى ال محمد كما باركت على ابرا هيم وعلى ال ابرا هيم في العالمين انك حميد مجيد.
6.      Berdoa untuk jenaazah setelah takbir yang ketiga, dengan doa yang dicontohkan oleh nabi saw, yaitu:
a.     Dalam hadits riwayat Muslim:
Allahummagh firlahu (ha) warhamhu (ha) wa’fuanhu (ha) wa’aafihi wa (ha) wa akrim nuzulahu (ha) wassi’ madkhalahu (ha) wagh silhu (ha) bimaain wa tsaljin wabarodin wanaqqihi (ha) minal khathaya kama yunaqqotsaubul abyadul minad danasi wa abdilhu (ha) daaran khairan min jaujihi (ha) wa qihi (ha) fitnatal wa ‘adzabannaar.
Artinya: “Ya Allah, ampunilah ia, kasihanilah, maafkanlah ia, selamatkanlah ia, hormatilah kedatangannya, luaskanlah tempat masuknya, bersihkanlah ia dengan air es dan air dingin. Bersihkanlah ia dari dosa, sebagaimana kain putih yang dibersihkan dari kotoran dan gantilah keluarganya dengan lebih baik dari keluarga sebelumnya dan peliharalah ia dari adzab kubur dan siksa neraka.

Catatan: Kata “ha” menunjukan pada perempuan, jadi kalau jenazahnya perempuan maka gantilah (hu) menjadi “ “. Kalau jenazahnya lebih dari dua, maka kalau laki-laki gantilah dengan kata “hum”. Tetapi kalau banyak, maka gantilah dengan kata “hunna”.
b.    Dalam hadits riwayat Ahmad dan Ashabus Sunan
اللهم اغفر لحينا وميتنا, وصغيرنا وكبيرنا وذ كرنا وانثا نا وشا هد نا وغاءبنا, اللهم من احييته منا فاحيه على الاسلام, ومن توفيته منا فتو فه على الايمان, اللهم لا تحر منا اجره, ولا تضلنا بعده
Artinya: “Ya Allah ampunilah bagi orang yang hidup diantara kami dan orang yang mati diantara kami, orang yang kecil kami, orang yang besar kami, laki-laki dari kami, perempuan dari kami dan yang hadir dari kami dan yang tidak hadir dari kami. Ya Allah, siapa yang telah Engkau hidupkan diantara kami, maka hidupkanlah dengan Islam dan siapa yang Kau wafatkan dari kami maka wafatkanlah ia atas keimanan. Ya Allah jangan kau haramkan (halangi) pahalanya dean jangan kau sesatkan kami setelahnya.

Catatan: Kalau jenazahnya anak kecil, maka doanya seperti di atas (bagian b) atau membaca doa ini (berdasarkan kitab Al-Adzkar, Imam An-Nawawi)
اللهم اجعله فرطا لابويه وسلفا وذخرا وعظة واعتبارا وشفيعا وثقل به موازينهما وافرغ الصبر على قلو بهما ولا تفتنهما بعده, ولاتحر مهما اجره
Artinya: Ya Allah ia (anak yang wafat) sebagai pendahulu yang baik bagi kedua orang tuanya, juga sebagai simpanan (amal) sebagai nasehat dan pelajaran dan pemberi syafaat bagi orang tuanya dan jangan kau coba orang tuanya (dengan bencana dan maksiat) setelahnya (wafat) dan jangan Kau halangi keduanya dari pahalanya.
7.      Mengucapkan salam; boleh satu kali, boleh juga dua kali. Dianjurkan sebelum salam membaca doa ini:
اللهم لا تحر منا اجره (ها) ولاتفتنا بعده (ها) واغفرلنا وله (ها) و لجميع المسلمين

Catatan: sebagian ulam Syafi’I menganjurkan membaca ayat ini sebelum salam:
tûïÏ%©!$# tbqè=ÏJøts z¸öyèø9$# ô`tBur ¼çms9öqym tbqßsÎm7|¡ç ÏôJpt¿2 öNÍkÍh5u tbqãZÏB÷sãƒur ¾ÏmÎ/ tbrãÏÿøótGó¡our tûïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä $uZ­/u |M÷èÅur ¨@à2 &äóÓx« ZpyJôm§ $VJù=Ïãur öÏÿøî$$sù tûïÏ%©#Ï9 (#qç/$s? (#qãèt7¨?$#ur y7n=Î6y öNÎgÏ%ur z>#xtã ËLìÅspgø:$# ÇÐÈ  

Artinya: “(Malaikat-malaikat) yang memikul arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan) “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah tuntunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jaln Engkau  dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala”. (Q.S Al-Ghafir: 07)


D.       Sunnah-Sunnah Shalat Jenazah
1.      Mengangkat tangan ketika takbiratul ihram dan takbir lainnya (H.R Al-Baihaqi)
2.      Tidak mengeraskan bacaan al-fatihah (israr) , H.R An-Nasa’i
3.      Shalat jenazah dilakukan secara berjamaah
4.      Membaca ta ‘awudz
5.      Tidak usah membaca doa iftitah (menurut mayoritas mahzab Syafi ‘i)
6.      Yang menjadi imam adalah anak laki-laki mayyit atau kerabatnya, dengan syarat mereka orang yang mengerti tentang shalat jenazah, kecuali si mayyit berwasiat hendak dishalatkan dengan orang yang dipilihnya
7.      Imam Ibnu Hajar  berpendapat, disunnahkan menambahkan kata “wabarakatuhu” ketika salam.
8.      Yang menshalati berjumlah tiga shaf (Ahmad, Abu Dawud dan at-Turmudzi)
9.      Jumlah orang yang menshalatkan banyak (H.R Muslim)
10.  Jenazah laki-laki diletakkan di depan Imam dengan posisi kepala jenazah menghadap ke Selatan  dan kakinya menjulur lurus ke Utara. (inilah secara teori dalam mahzab Syafi ‘i tetapi pada pengalaman atau prakteknya yang dilakukan kebanyakan orang menjadi terbalik, yaitu kepala jenazah menghadap ke Utara dak kakinya menghadap ke Selatan)
11.  Bila jenazah laki-laki, maka imam berdiri menghadap sejajar dengan kepala jenazah. Adapun jika jenazah perempuan maka imam berdiri menghadap sejajar dengan bagian tengahnya (pinggul) H.R Abu Dawud dan At Turmudzi) jenazah anak laki-laki di belakang jenajah laki-laki dewasa, sedangkan jenazah anak perempuan di belakang jenazah perempuan dewasa
12.  Jika jenazah banyak terdiri dari laki-laki dan wanita maka cara menshalatkannyan boleh sekaligus, dengan cara jenazah laki-laki diletakkan lebih dekat dengan imam, sedangkan jenazah perempuan lebih dekat  ke arah kiblat (H.r Al-Baihaqi dan An-Nasa ‘i)
13.  Kalau bisa jangan menshalatkan jenazah pada waktu yang dimakruhkan, yaitu ketika matahari meninggi dan ketika istiwa (matahari berada di tengah dan ketika matahari akan terbenam sampai terbenam. (H.R Muslim)

E.        Shalat Ghaib
Yang dimaksud denagan shalat ghaib adalah apabila jenazah yang akan kita shalatkan tidak berada di tempat kita, misalnya kita berada di Ketapang sedangkan mayyitnya berada di Pontianak, maka kita boleh shalat ghaib, berdasarkan hadits riwayat Jamaah bahwa nabi dan para sahabat menshalati raja Najasyi yang meninggal di Habasyah (Eutophia).
Tetapi ada beberapa ketentuan yang perlu kita perhatikan dalam shalat ghaib ini, diantaranya
1.   Kita boleh menshalati jenazah setelah ia dimandikan
2.   Menurutt sebagian ulama mahzab Syafi‘i, ketika menghadirkan niat di dalam hati pada shalat ghaib, wajib menghadirkan nama jenazah di dalam hati. Tetapi kalau ia melafazdkan  kalimat berikut dan menghadirkannya di dalam hati maka sudah cukup.
اصلي على من تجوز الصلاة عليه من اموات المسلمين
Adapun makmum cukuplah baginya mengucapkan niat seperti shalat jenazah:
اصلي على من صلى عليه الامام


BAB EMPAT: MEMBAWA JENAZAH

Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika membawa mayyit ke kuburnya
1.      Berjalan sedikit cepat (seperti yang nabi lakukan pada jenazah Sa ‘ad bin Mu ‘ad dalam kitab Tarikh imam Bukhari).
2.      Mengikuti jenazah dari belakang lebih utama.
3.      Mengantar jenazah dengan berjalan bukan dengan berkendaraan (H.r Baihaqi dan Abu Dawud).
4.      Dimakruhkan mengeraskan dzikir ketika membawa jenazah (berdasarkan riwayat dari para sahabat dan tabi ‘in dimakruhkan juga mengangkat suara (H.R Abu Dawud).
5.      Tidak mengiringi jenazah dengan api (H.r Ibnu Majah), adapun membawa pelita atau lampu hukumnya boleh apabila memerlukannya karena menguburkan jenazah pada malam hari (HR. At-Turmudzi).
6.      Para penggiring jenazah dimakruhkan untuk duduk sebelum keranda jenazah diletakkan di kaki kubur (HR. Al-Hakim), kecuali apabila dia dating ke kuburan lebih awal tanpa mengiring mayyit, maka boleh-boleh saja dia duduk.
7.      Disunnahkan bagi yang sedang duduk lalu ada jenazah yang melintas di depannya, untuk berdiri sampai jenazah itu lewat (HR. Muslim), sebagian ulama mensyaratkan disunnahkannya berdiri kalau mayyitnyaorang Islam. Sedangkan sebagian ulama lainnya tidak mensyaratkannya, jadi walaupun jenazah orang kafir pun tetap disunnahkan berdiri (sebagaimana yang dilakukan sebagian sahabat nabi saw dalam riwayat Bukhari dan Muslim).
8.      Perempuan boleh mengiringi jenazah, terutama jenazah keluarganya. Adapun hadits-hadits yang banyak meriwayatkan tentang pelarangan perempuan mengiringi jenazah, semua riwayatnya lemah, dan yang terkuat adalah perkataan Ummu “Athiyyah: “ Kami (perempuan) dilarang oleh nabi saw mengiringi jenazah. Tetapi nabi saw tidak melarang kami secara tegas” (HR. BUkhari dan Muslim). Dalam  mengomentari hadits ini, Imam Ibnu Hajar berkata: “Lafazd hadits”nabi tidak melarang kami secara tegas”, menunjukan bahwa larangan nabi tersebut hanya bersifat makruh saja, bukan mengharamkan. Hal ini didukung oleh hadits yang meriwayatkan bahwa Umar melihat seorang wanita menangis ikut mengiringi jenazah lalu ia membentaknya, maka nabi mencegah Umar dan menyuruh Umar untuk membiarkan perempuan tersebut (HR, Ibnu Kisan dengan sanad yang shahih).


BAB LIMA: MENGUBURKAN JENAZAH

A.       Kadar Minimal Kubur
Paling minimal kuburan adalah berbentuk lobang yang bisa menjaga jenazah dari penciuman binatang buas dan bisa menutupi bau mayyit, hingga tidak keluar (HR. At-Turmudzi dan An-Nasa ‘i)

B.        Kadar kesempurnaan kubur
Disunnahkan mendalamkan kuburan (HR, At-Turmudzi), dalam mazhab syafi ‘I kadar kesempurnaan kuburan adalah jika kuburan digali sedalam ukuran orang yang berdiri sambil mengangkat tangannya (HR. Ibnu Abi Syaiban dan Ibnu Mundzir).

C.       Jenis Kuburan
1.      Lahat : membuat lubang di bagian dasar di sisi kubur (dinding kubur) di sebelah kiblat
2.      Syaq: membuat lubang di bagian tengah dari dasar lubang kubur

Catatan: untuk daerah yang tanahnya kuat, maka yang afdhal adalah” lahat”.  Adapun tanahnya basah, maka yang afdhal adalah “syaq”. Nabi dikuburkan dengan “lahat”, karena tanah Madinah keras.

D.       Sunnah-sunnah dalam Menguburkan
1.      Tidak menguburkan jenazah pada malam hari kecuali terpaksa.
2.      Tidak menguburkan jenazah pada waktu ketika matahari meninggi dan ketika peristiwa(matahari berada di tenga-tenga) dan ketika matahari akan terbenam sampai terbenam (HR. Muslim).
3.      Jenazah dimasukkan dari kaki kubur (maksudnya pinggir kuburan yang posisi kaki jenazah di bawahnya) HR. Al-Baihaqi.
4.      Mendahulukan kepala jenazah pada saat memasukkannya ke dalam kubur (HR. Imam Syafi ‘i).
5.      Orang yang memasukkan jenazah berjumlah ganjil. Bisa tiga orang (Ibnu Hibban), ataupun lima orang (HR. Abu Dawud).
6.      Jenajah dibaringkan di atas lambung kanannya dan wajah dan dadanya menghadap kiblat, lalu ditutup lubang lahatnya dengan papan atau yang lainnya.
Catatan:  menurut mahzab Syafi ‘I, menghadapkan jenazah ke kiblat hukumnya wajib.
7.      Disunnahkan yang memasukkan jenazah adalah keluarganya.
8.      Ketika melrtakkan mayyit, disunnahkan membaca:
بسم الله وعلى ملة رسول الله
Artinya: “Dengan nama Allah dan atas agama Rasulullah” (HR. Abu Dawud).
Atau membaca:
بسم الله وعلى سنة رسول الله
Artinya: “Dengan nama Allah dan atas sunnah (jalan) Rasulullah (HR. Abu Dawud).
9.      Disunnahkan membuka ikatan yang ada pada kafan, lalu kain kafan yang menutupi mukanya dibuka hingga wajahnya menyentuh tanah.
10.  Setelah mayyit dimasukkan dan ditutupi papan, disunnahkan untuk menaburkan tanah tiga kali  (HR. Ibnu Majah). Menurut mahzab Syafi ‘I, tanah ditaburkan di bagian arah letak kepala mayyit berdasarkan hadits riwayat Al-Baihaqi).

Catatan: berkata Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al_Adzkar “Menurut ulama-ulama mazhab Syafi‘I dianjurkan membaca pada taburan yang pertama dengan bacaan ini:  منها خلقنا كم. Pada taburan kedua membaca: وفيها نعيد كم Pada taburan ketiga membaca: ومنها نخرجكم تارة اخرى
11.  Kuburan setinggi satu jengkal (HR. Al-Baihaqi, ini semua apabila takut kuburan tidak dapat ditandai, namun apabila dapat ditandai, mak yang lebih afdhal adalah kuburan tersebut adalah rata, seperti makam nabi saw (HR. Abu Dawud).
12.  DIsunnahkan meletakkan batu atau yang lainnya di atas kubur sebagai tanda (HR. Abu Dawud).
13.  Disunnahkan mendoakan jenazah di pinggir kuburnya dan memohonkan ampunan untuknya dan keteguhan imannya (HR Abu Dawud).
14.  Disunnahkan membaca awal surat Al-Baqarah dan akhirnya (HR. Thabrani dan Al-Baihaqi).
15.  Disunnahkan tetap berada di atas kuburan, lama waktunya seperti orang menyenbelih unta dan membagi-bagikan daging-dagingnya (sesuai dengan wasiat sahabat nabi saw Amr bin Ash dalam riwat=yat muslim

Catatan: Adapun masalah mentalqinkan mayyit di atas kuburnya, menurut mahzab Syafi ‘I disunnahkan, walaupun haditsnya lemah, tetapi dikuatkan dengan hadits-hadits shahih yang lain (baca kitab Al-Adzkar, Imam An-Nawawi atau kitab fiqih sunnah, Syayid Sabiq).

SUMBER

1.      Al- Quran
2.      Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari(256 H), Al-Jami ‘us Shahih
3.      Abul Hasan Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi (261 H), Al-Jami’us Shahih
4.      Ahmad bin Syu ‘aib At-Turmudzi (303 H) Sunan At-Turmudzi
5.      Ibnu Hajar Al-Asqalani (819 H) Fathul Bari
6.      Abu Jakaria Yahya An-Nawawi, Minhajuth Thalibiin
7.      Muhammad Al-Khatib Asy Sirbinii, Mughnil Muhtaaj
8.      Muhammad bin Abdullah Al-Jardani, Fathul Alaam
9.      Sayyid Sabiq, Fighus Sunnah
10.  Habib Ahmad bin Umar Asy Syathiri, Al-Yaqutunna Nafiis
11.  Hasan Ali As-Seqqaff, Shahih Syarhil ‘Aqidah Ath Thahawiyyah

6 komentar:

  1. Assalamualaikum ya Akhil Karim arju ala samahati sudurikum izin ana tuk mengkopy materi tentang pengurusan jenazah , mohon redhonya

    BalasHapus
  2. Assalam mualaikum wr wb
    Mohon ijin mengcopy .. jazakallah khoiron katsiro🙏

    BalasHapus
  3. assalamualaikum pak boleh tau ini bersumber dari buku apa ?

    BalasHapus
  4. assalamualaikum boleh tau ini sumber buku dari mana ?

    BalasHapus
  5. Assalamu alaikum..mohon izin copy untuk tambahan ilmu..semoga antum mendapat limpahan rahmat dan pahala yg terus mengalir...makasih

    BalasHapus