Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian berkesanggupan (sudah mampu)
maka hendaklah menikah. Karena sesungguhnya ia (menikah) dapat memejamkan mata
dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu, maka berpuasalah. Maka
sesungguhnya puasa itu benteng baginya. [HR Bukhari dan Muslim].
Seorang sahabat saya waktu sekolah dulu, punya pacar yang kalo dari segi fisik cukup
bagus. Mereka pasangan yang serasi banget. Ibarat panci dengan tutupnya. Klop.
Maklum, yang cowok selain pandai di bidang akademik, ia juga terampil
berorganisasi dan yang wanitanya cerdas. Dua sejoli ini setahu saya, cukup akrab
dan akur. Sampe-sampe banyak teman yang meramalkan bahwa pasangan ini bakalan
terus langgeng sampe ke pelaminan.
Ternyata, ramalan tinggal ramalan,
mereka berpisah alias putus ketika sama-sama lulus sekolah dan masing-masing
menikah dengan pasangan lain. Yah, kita emang nggak bisa meramal. Dukun sekali
pun nggak bisa meramal, mereka cuma nebak. Buktinya, waktu zamannya judi nomer
buntut (atau sekarang togel), banyak orang sampe bertanya ke dukun. Hmm... kalo
dukun tersebut tahu nomor buntut, pasti bakalan masang sendiri, nggak bakal
ngasih tahu. Tul nggak? Eh, kok jadi ngomongin dukun sih? Hehehe... iya saya
cuma ingin membuat alur logika aja. Bahwa kita nggak bisa memprediksi. Intinya
begitu. Jadi kalo pun sekarang semangat pacaran dengan tujuan ingin menikahinya,
itu pun tetap masih gelap. Nah, pelajaran yang bisa diambil adalah kita harus
pandai memilih jalur dan tentunya kudu akur bin klop dengan panduan hidup kita,
yakni ajaran Islam. Setuju kan?
Ada juga sih memang, teman saya yang
pacaran sejak bangku SMP sampe lulus SMU (karena kebetulan bareng terus dua
sejoli itu), bahkan sampe masing-masing bekerja mereka tetap awet menjalin
hubungan. Hingga akhirnya mengucap ijab-kabul di depan wali dan petugas pencatat
pernikahan dari KUA. Mereka pasangan yang cukup bahagia. Model yang seperti ini
juga nggak sedikit di lapangan. Mereka berhasil membina keluarga, yang saling
dikenalnya sejak SMP melalui pacaran.
Tapi kenapa saya tetep ngotot ingin
membahas masalah ini? Kenapa pula ingin mempersoalkan pacaran sebelum menikah?
Ya, karena saya punya tanggung jawab untuk menyampaikan kebenaran. Memangnya
pacaran sebelum menikah nggak benar? Memang pacaran nggak boleh? Memangnya kita
bisa langsung menikah tanpa pacaran dulu? Memang lidah tak bertulang...(eh,
malah nyanyi!).
Coba deh SMART!
Dalam ilmu manajemen
dikenal istilah SMART. Apa tuh? Itu rumusan dari Specific, Measurable,
Achievable, Reasonable, Time-phased. Walah, masa’ sih untuk menentukan apakah
memilih pacaran atau menikah aja kudu pake istilah-istilah yang bikin ribet
kayak gini?
Tenang sobat, saya mencoba mengenalkan rumusan ini karena
menurut saya ini berlaku umum. Untuk tujuan apa saja. Tapi biasanya ini akan
memberikan dampak yang cukup bagus untuk membuat komitmen bagi diri sendiri dan
juga orang yang kita ajak membuat sebuah komitmen. Yuk, kita bahas satu per satu
formula SMART ini.
Spesifik artinya tertentu atau khusus. Boleh dibilang
tujuan kita harus tertentu, khusus, dan bila perlu jelas dan khas. Misalnya
untuk apa kita pacaran? Tanamkan baik-baik pertanyaan itu dalam diri kamu. Sama
seperti halnya untuk apa kita belajar. Tiap orang mestinya akan berbeda-beda
menjawabnya karena sesuai tujuan. Ada yang pacaran mungkin sebatas ikutan tren,
ada yang menjawab sekadar iseng, ada pula yang menjawab sebagai sarana mengenal
pasangan yang akan dinikahi. Eh, saya kok malah ragu kalo pada usia yang masih
ABG ini kita berkomitmen bahwa pacaran untuk mengenal pasangan yang akan
dinikahi. Tul nggak? Menurut kamu gimana?
Jujur saja. Saya nggak nuduh,
cuma saya sendiri sampe usia sekarang masih merasakan masa-masa ABG dulu, bahwa
tuntutan untuk memiliki kekasih (pacar) lebih karena panas akibat dikomporin
teman yang udah punya gandengan atau karena kebutuhan untuk berbagi rasa dengan
lawan jenis. Tapi sejatinya, kalo ditanya tentang nikah, pasti bingung dan
langsung kehilangan kata-kata. Bahkan nggak memikirkan sedikit pun, kecuali
mungkin kalo yang ditanya udah dewasa ada yang langsung mantap menjawab sebagai
upaya mengenal pasangan untuk menikah. Jadi intinya, kalo sekadar iseng percuma
aja. Nggak punya tujuan yang jelas dan khas serta tertentu bisa berabe
nantinya.
Nah, rumus yang kedua sebuah tujuan itu harus Measurable alias
bisa terukur. Kalo tujuan belajar adalah untuk ibadah dan ingin mendapat
wawasan, maka itu pun harus terukur. Misalnya, apa yang bisa didapatkan dari
belajar. Kira-kira memuaskan nggak kalo sudah dapat sampe level tertentu yang
sudah direncanakan. Ada tingkat keberhasilan yang bisa terukur. Begitu pun
dengan membina hubungan seperti pacaran, bisa nggak terukur kegiatan itu. Jangan
asal aja. Hubungan seperti apa yang bisa dijalin, dan tolong dinilai apakah
dengan mengetahui karakter dia sudah dianggap terukur dari tujuan semula atau
belum, apakah pertemuan dan kualitas curhat dianggap sebagai bentuk hasil
hubungan yang bisa terukur untuk menentukan kelayakan hubungan tersebut bisa
dilanjutkan atau tidak. Jadi, kalo cuma main-main dan sekadar iseng, enaknya
lakukan kegiatan lain aja yang tak berisiko tinggi. Karena ujungnya mesti nggak
bisa dipertanggungjawabkan.
Ketiga, soal Achievable alias dapat dicapai.
Tentukan pencapaiannya. Misalnya, kalo belajar sekian minggu kita bisa apa. Kalo
pacaran selama dua tahun sudah tahu apa aja dari pasangan kita. Masalah apa aja
yang bisa diketahui dan kita kenal dari pasangan yang kita pacari. Tentukan
target pencapaiannya. Nggak asal melakukan aja. Nah, kalo kira-kira proyek
pacaran itu nggak bisa dicapai hasil-hasilnya, buat apa dilakukan. Betul
ndak?
Terus tentang Reasonable itu bisa diartikan layak, pantas, dan
masuk akal. Oke jika pacaran dianggap layak, pantas, dan masuk akal, tentu harus
ada ukurannya dong. Apa yang membuat pacaran itu pantas, apa yang membuat
pacaran itu masuk akal. Jika memang ada, coba tunjukkan kepada orang-orang.
Soalnya, kalo pacaran itu dianggap sebuah proyek yang bisa memuluskan proses
mengenal pasangan untuk dinikahi, maka harus jelas juga apakah ini termasuk
proyek padat karya atau padat modal (idih, kayak usaha aja?). Iya, maksudnya
kita kudu merinci dengan detail sebelum melakukan pacaran apakah masuk akal atau
cuma proyek fiktif dan bahkan termasuk ekonomi berbiaya tinggi? Silakan
dipikirin.
Nah, yang terakhir adalah Time-phased, ini artinya kita kudu
menentukan tahapan-tahapan waktunya. Kapan memulai, kapan mencapai klimaks, dan
kapan mengakhiri. Ini kudu jelas, bila perlu dibuat grafik supaya jelas
tergambar semua urutan waktunya. Kayak kalo kerja di bidang penerbitan media
massa, pasti ada urutan waktu: mulai dari rapat redaksi, membagi tugas kepada
para reporter, para jabrik menulis hasil kerja koresponden dan reporter, editing
oleh tim editor bahasa, kapan setting, tanggal berapa naik cetak, sampe hari apa
harus edar ke pembaca. Semua urutan waktu itu punya makna.
Bagaimana
dengan pacaran, mungkin bisa dirinci: pada usia berapa saya berani pacaran,
kapan kenalannya, dengan siapa, orang yang kayak gimana, tujuannya apa, kapan
bisa mengetahui isi hati dan perilakunya, kapan bisa mengenal keluarganya, tahun
berapa punya modal, kapan serius memikirkan nikah, dan kapan waktu harus
menikah. Semua itu harus jelas urutannya. Jangan sampe pas ditanya sama calon
mertua, “Kapan bisa menikah dengan anak saya?”, kamu jawabnya, “Ya, sekarang mah
mau main-main dulu aja, Pak. Saya juga masih kuliah. Belum kerja!” Waduh, belum
siap kok nekat?
Main-main terus, atau mulai serius?
Oke
deh, semoga kamu paham dengan paparan formula yang saya tulis. Ini sekadar ingin
ngajak kamu merenung aja. Apakah selama ini apa yang kamu lakukan dengan memilih
pacaran dulu sebelum married menguntungkan atau tidak secara ekonomi, sosial, dan
juga politik (eh, secara politis orang tua itu suka kepada anak-anak yang
mandiri dan bertanggung jawab, kalo cuma iseng aja atau masih perlu milih-milih
dan apalagi tanpa ikatan jelas dan kuat, maka bisa meruntuhkan keyakinan dan
kepercayaan mereka kepada kita. Suer!).
Sobat muda muslim, kalo dalam
proyek pacaran kamu nggak bisa mempertanggungjawabkan formula SMART ini, jangan
harap bisa benar pacarannya. Ini baru dilihat dari sudut pandang manajemen lho.
Belum hukum Islam. Karena kalo bicara hukum, meskipun terpenuhi unsur lain,
misalnya sudah sesuai formula SMART, tapi dalam hubungannya melanggar
batasan-batasan yang ditetapkan Islam, maka tetap tertolak dan diberi label
dosa.
Gimana, masih tetep pengen pacaran dulu? Saran saya sih, jangan
dikalahkan oleh nafsu, jangan rela akal sehat dijajah gerombolan setan yang
menutup mata dan hati kita dari kebenaran. Tetep semangat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar