Islam sering dituding sebagai agama yang tidak memihak wanita karena sebagian
aturan-aturannya dianggap mengekang kebebasan kaum wanita. Aturan-aturan Islam
‘klasik' dianggap terlalu maskulin atau male-biased, cenderung bias jender, yang
menempatkan wanita pada posisi nomor dua setelah kaum pria. Karenanya,
aturan-aturan Islam dianggap tidak relevan dengan kondisi saat ini, karena
bertentangan dengan konsep kesetaraan; seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan
waris, poligami, kepemimpinan laki-laki dalam keluarga, nafkah, pakaian
Muslimah; apalagi kepemimpinan laki-laki dalam negara yang jabatan ini memang
diharamkan bagi wanita.
Merebaknya paham sekularisme di tengah-tengah
kaum Muslim yang melahirkan kebebasan dan gaya hidup individualis-materialistis
rupanya telah memberikan pengaruh besar kepada kaum Muslim dan mengkondisikan
mereka untuk menerima apapun yang berbau ‘modern' Wajar jika kemudian,
kebahagiaan diukur dengan nilai-nilai yang bersifat duniawi, seperti
terpenuhinya sebanyak mungkin kebutuhan jasmani atau sebanyak mungkin materi
yang dihasilkan. Akhirnya, para wanita bersaing dengan kaum pria untuk
menghasilkan karya dan mendapatkan materi sebanyak-banyaknya sehingga peran
wanita sebagai istri dan ibu sering diabaikan dan dianggap tidak berarti, karena
tidak dapat memberikan konstribusi secara ekonomi kepada keluarga.
Para
wanita bersaing dengan pria untuk merebut posisi tertinggi dalam suatu
pekerjaan, lembaga, bahkan dalam pemerintahan; tanpa mencermati terlebih dulu
apakah langkah tersebut diperbolehkan atau tidak oleh Islam. Mereka bangga
menjadi seseorang yang mampu memberi konstribusi besar secara materi kepada
keluarga. Sebaliknya, mereka nyaris menanggalkan kebanggaannya menjadi seorang
Muslimah serta kemuliaannya sebagai istri dan ibu, pengasuh dan pendidik bagi
anak-anak dan masyarakatnya.
Bagaimana Islam Memandang
Wanita?
Islam merupakan din yang sempurna. Seluruh ajarannya
bersumber dari wahyu Ilahi yang tidak akan berubah sampai kapanpun. Allah Swt.
telah memberikan aturan-aturan dengan rinci. Dengan aturan-aturan itu, seluruh
problem hidup makhluk-Nya dalam situasi dan kondisi apapun dapat diselesaikan
dengan memuaskan tanpa ada satu pun yang dirugikan.
Aturan-aturan Islam
senantiasa memuaskan akal dan sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, Islam lahir
dari Zat Yang menciptakan manusia; Dia Mahatahu atas hakikat makhluk yang
diciptakan-Nya. Islam memandang bahwa kebahagiaan dan kemuliaan seseorang tidak
diukur dari materi yang dapatrapan umat; di tangannya pula tergenggam masa depan
umat —karena ia adalah tiang negara, yang menentukan tegak atau runtuhnya
sebuah negara/masyarakat.
Karenanya, Islam sangat mendorong para
wanita untuk senantiasa tanggap terhadap segala sesuatu yang ada di
sekelilingnya (sadar politik). Mereka juga terus didorong untuk membekali diri
dengan pemahaman Islam sehingga mampu menyelesaikan seluruh problem yang ada di
sekelilingnya dengan benar.
Senantiasa tersimpan dalam benak kita, betapa
Rasulullah saw. tidak pernah membedakan para wanita dalam mendapatkan ilmu.
Rasulullah saw. bahkan menyediakan waktu dan tempat tersendiri untuk kajian kaum
wanita atau mengutus orang-orang tertentu untuk mengajari para wanita bersama
mahram-nya.
Sangatlah jelas, bahwa Islam mencerdaskan kaum wanita,
karena ia adalah juga bagian dari warga negara sebagaimana kaum pria; keduanya
bertanggung jawab untuk membawa umatnya ke keadaan yang lebih
baik.
Islam Memuliakan Wanita
Ketika Islam datang ke
muka bumi ini dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw., sebenarnya telah sangat
nyata bahwa Islam meninggikan derajat kaum wanita. Islam mencela dengan keras
tradisi Jahiliah, di antaranya mengubur hidup-hidup anak perempuan yang baru
dilahirkan atau pewarisan istri ayah kepada anak laki-lakinya. Celaan Islam atas
perilaku Jahiliah tersebut menunjukkan bahwa Islam sangat memuliakan dan
meninggikan derajat kaum wanita. Allah Swt. berfirman:
Jika seseorang
dari mereka dikabari dengan (kelahiran) anak perempuan, merah-padamlah mukanya,
dan ia sangat marah. Ia bersembunyi dari orang banyak disebabkan buruknya berita
yang disampaikan kepadanya. Apakah ia akan memeliharanya dan menanggung kehinaan
atau menguburkannya ke dalam tanah hidup-hidup? Ketahuilah, alangkah buruknya
apa yang mereka tetapkan itu. (QS an-Nahl [16]: 58-59).
Rasul saw.
juga bersabda, sebagaimana dituturkan Abu Hurairah ra.:
Seseorang
pernah bertanya kepada Rasulullah, “Siapa orang yang paling berhak diperlakukan
dengan baik?" Rasul menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu; lalu bapakmu; baru kemudian
kepada orang yang lebih dekat dan seterusnya. (HR Muslim).
Dari
beberapa hadis di atas dapatlah dipahami, bahwa Islam benar-benar menghargai dan
memuliakan kaum hawa. Banyaknya pujian yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya
terhadap kaum wanita mengandung makna bahwa Islam meninggikan derajat kaum
wanita; sedikitpun tidak menempatkan wanita pada posisi nomor dua setelah
laki-laki. Artinya, Islam tidak pernah berlaku tidak adil kepada wanita.
Ketika Allah dan Rasul-Nya mengharamkan wanita duduk pada jabatan
kekuasaan, tidak berarti bahwa Islam menempatkan wanita pada posisi warga negara
nomor dua setelah laki-laki. Sebab, dalam pandangan Islam, posisi apapun
seseorang, apakah sebagai rakyat ataupun penguasa adalah sama, yang satu tidak
lebih tinggi dari yang lain. Keduanya sebagai hamba Allah yang memiliki
kewajiban untuk melaksanakan aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan
fungsi dan peran masing-masing; penguasa sebagai pelaksana aturan-aturan Allah
secara langsung, sedangkan rakyat sebagai pengontrol jalannya pemerintahan dan
pengoreksi penguasa.
Adanya perbedaan ini tidak berarti yang satu lebih
tinggi atau lebih mulia dari yang lain. Semua ini ditetapkan Allah sesuai dengan
fitrahnya masing-masing; semata-mata demi kemaslahatan dan kelanggengan hidup
manusia. Sebab, nilai kemuliaan seseorang di mata Allah tidak diukur dari jenis
kelaminnya, tetapi karena ketakwaan dan ketundukkanya kepada-Nya. Keberadaan
keduanya di dunia ini adalah sebagai makhluk Allah yang saling melengkapi dalam
menjalani kehidupan, dengan pembagian peran yang jelas dan seimbang serta tetap
mengacu pada aturan yang telah Allah berikan. Dengan itulah manusia, baik pria
maupun wanita, dapat meraih kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Wallâh a‘lam bi ash-shawâb.
Afkar Al-Wa’ie Edisi
54
Najmah Saiidah
Daftar Pustaka
1.
Al-Hatimy, Said Abdullah Seif. 1994. Citra Sebuah Identitas; Wanita dalam
Perjalanan Sejarah. Surabaya. Risalah Gusti.
2. An-Nabhani, Taqiyyuddin.
1990. An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fi al-Islâm. Cet III. Beirut: Darul Ummah.
3.
Engineer, Ashgar Ali. 1994. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya.
4. Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam kajian Tafsir
Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer. Cet I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
5.
Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan, edisi XII/Nov-Des 1999
6.
Rasyid Ridha, Muhammad. Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar
Keberadaan Wanita. Pustaka Progessif.
7. Menakar ‘Harga' Perempuan:
Eksplorasi Lanjut Atas Hak-hak Reproduksi dalam Islam. 1999. Bandung: Mizan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar