Feri Irawan, S.Pd.I : Selamat datang di blog ini. Silahkan browsing dan jangan lupa tinggalkan komentar sobat.

Rabu, 16 April 2014

KITAB THOHAROH


1.      Menurut bahasa: bersih dari kotoran baik lahir maupun batin.
2.      Menurut syara’: “suatu perbuatan yang mengangkat hadats, menghilangkan najis, bermakna mengangkat hadats, bermakna menghilangkan najis, penyempurnaan mengangkat hadats dan penyempurnaan menghilangkan najis.”
Penjelasan makna syara’:
v  Mengangkat hadats: wudhu atau mandi hadats besar.
v  Menghilangkan najis: membersihkan najis sampai hilang bau, rasa, dan warna.
v  Bermakna mengangkat hadats: tayammum
v  Bermakna menghilangkan najis: istinja dengan batu.
v  Penyempurna mengangkat hadats: basuhan kedua dan ketiga pada wudhu dan mandi hadats besar.
v  Penyempurna menghilangkan najis: bilasan kedua dan ketiga pada najis, setelah hilangnya bau, rasa, dan warna.

BAB I
WUDHU

A.    Dasar perintah wudhu:
1.      Al-Qur’an surat al-Maidah: 06
2.      Hadits Nabi: “Allah tidak menerima sholat salah seorang dari kalian apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.” (H.R. Bukhari & Muslim).

B.        Makna Wudhu
1.      Menurut bahasa, diambil dari kata wadho’ah yang berarti cantik dan elok.
2.      Menurut syara’: nama untuk membasuh sebagian anggota badan dengan niat khusus.
Penjelasan makna syara’:
v  Sebagian anggota badan yang wajib: muka, tangan sampai siku, kepala (rambut), kaki sampai mata kaki.
v  Dengan niat khusus: dengan niat mengangkat hadats kecil, atau memperbaharui wudhu.

C.       Pasal satu: Furudhul Wudhu (fardhu-fardhu wudhu)
1.      Niat
Wajib menghadirkannya di dalam hati ketika membasuh muka. Adapun melafazkannya adalah sunnah di madzhab Imam Syafi’i. adapun lafadz niat wudhu adalah: “Nawaitul wudhu a li rof’il hadtsil asghori lillahi ta’ala (sengaja aku berwudhu untuk mengangkat hadats kecil karena Allah).”

2.      Membasuh muka
Ø  Batas muka: panjang: Dari tempat tumbuh rambut yang pertama di atas kening sampai ujung dagu.
Lebar    : Dari daun telinga kanan sampai telinga kiri.
Ø  Wajib membasuh seluruh bulu atau rambut yang ada di muka kecuali janggut, kalau janggutnya tebal maka yang dhohirnya saja. Adapun kalau janggutnya tipis maka wajib membasuh seluruh janggutnya.
a.       Ukuran janggut tebal: apabila janggut tersebut menutupi kulit dagu, hingga tidak bisa di lihat oleh mata dalam jarak yang biasa di lakukan dalam majelis bicara.
b.      Ukuran janggut tipis: apabila kulit dagu bisa terlihat walaupun ada bulu janggut, sehingga bias di lihat oleh mata dalam jarak yang biasa di lakukan dalam majelis bicara.

3.      Membasuh tangan sampai siku
Batas tangan dari ujung jari sampai siku. Tetapi disunnahkan memanjangkan basuhan sampai sebelum bahu.
Perhatian: hindarkan kuku kita dari kotoran yang biasa menutupi masuknya air.
Catatan:
a.       Tidak ada masalah kalau kita membasuh tangan dimulai dari siku.
b.      Disunahkan mendahulukan tangan kanan dari tangan kiri.

4.      Mengusap sebagian kepala (rambut)
Khusus untuk kepala atau rambut hanya diusap saja. Maksud dari usap adalah menyampaikan basah saja tidak lebih dari itu.
Kadar kepala atau rambut yang wajib dibasuh, terjadi beberapa pendapat:
Pendapat pertama : sebagiannya saja walaupun sehelai rambut (Imam Syafi’i).
Pendapat kedua : seluruh rambut yang ada di kepala, walaupun air tidak mengena secara merata ke rambut bagian dalam (Imam Malik).
Pendapat Ketiga: sebagian besar kepala, paling minimal setengahnya (Abu Hanifah).
  
Keterangan:
1.      Adalah pendapat yang kedua (Imam Malik). Mengamalkannya juga tidak susah.
2.      Imam Syafi’I yang membolehkan mengusap sebagian rambut walaupun sehelai rambut, berpendapat disunnahkan mengusap semua rambut.
3.      Bila dilihat dari wudhunya Rasulullah, maka Nabi selalu mengusap seluruh rambutnya kecuali ketika beliau berwudhu dalam keadaan memakai serban, maka beliau hanya mengusap sebagian kecil rambutnya.

5.      Membasuh kaki sampai mata kaki
Yang kita perhatikan adalah seperti masalah membasuh tangan.

6.      Tertib
Urutan anggota badan yang dibasuh dalam wudhu adalah ketentuan Allah, maka tidak boleh mendahulukan satu anggota badan dengan anggota lainnya, seperti membasuh tangan kemudian muka. Maka basuhan tangan tidak sah, karena tangan boleh dibasuh setelah sahnya basuhan pada muka.

D.       Pasal Kedua: hal yang membatalkan wudhu
1.      Keluarnya segala sesuatu dari dua jalan (qubul dan dubur), berupa:
a.       Air Kecil (kencing)
b.      Air Besar (kotoran) sesuai dengan perintah Allah (An-Nisa’: 43)
c.       Angin yang terdengar atau tidak terdengar (H.R. Bukhari & Muslim)
d.      Air Madzi dan Wadhi (H.R. Al-Baihaqi)
e.       Air Mani (kecuali pendapat Imam Syafi’i)
Keterangan: madzi adalah air yang keluar dari qubul karena tingginya syahwat, bisa keluar sebelum keluarnya sperma (mani). Adapun wadhi adalah air yang keluar dari qubul dikarenakan membawa barang yang berat.

2.      Hilangnya akal karena pingsan, gila, ayan, dan mabuk. Adapun tidur tergantung posisi tidurnya, ada dua posisi:
a.       Posisi tidur yang membatalkan wudhu: apabila bokong orang tidur tidak menempel dibumi (bila tidur dalam keadaan telentang).
b.      Posisi tidur yang tidak membatalkan wudhu: apabila bokong yang tidur menempel di bumi (bila tidur dalam keadaan duduk)
Dasar Pemahaman:
1.      Hadits Rasulullah: “ Mata adalah pengikat dubur, maka barang siapa yang tidur berwudhulah. (H.R. Abu Dawud)
2.      Hadits Rasulullah: “ Mata adalah pengikat dubur, apabila dua mata tertidur maka terbukalah dubur. (H.R. Abu Dawud)
Pemahaman Dua Hadits di atas:
Bahwa tidur pada dasarnya tidak membatalkan wudhu, tetapi ditakutkan dari tidur tersebut terbukanya dubur dan keluarnya angin dari dubur yang terbuka tersebut. Maka dengan demikian apabila seseorang tidur dengan posisi bokongnya menempel di bumi, duburnya tidak akan terbuka walaupun kedua matanya tertidur.
3.      Menyentuh Dzakar (H.R. Abub Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa’I, Ibnu Majah) atau menyentuh kemaluan laki-laki dan perempuan (H.R. Ahmad). Menyentuh dianggap batal apabila menyentuhnya dengan tangan dan tanpa penghalang).
Catatan:
Menurut Imam Syafi’I menyentuh kemaluan batal apabila menyentuhnya dengan telapak tangan. Adapun kalau orang menyentuh kemaluan dengan punggung tangannya maka tidak batal. Hal ini berdasarkan makna “Massa” dalam hadits yang berarti ‘menyentuh dengan telapak tangan”.
4.      Bersentuhnya dua kulit antara laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, bukan mahram, tanpa penghalang.
Penjelasan Masalah:
Dasar masalah ini adalah surat An-Nisa’ ayat; 43. Firman Allah:
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub (hadats besar), terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air (selesai buang air besar dan kecil) atau Laamastun wanita, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah…..”

Catatan: Kata “Laamastum” bisa berarti dua: menyentuh atau menyetubuhi. Maka karena perbedaan tafsir kalimat “Laamastum” terjadilah perbedaan dalam masalah batalnya bersentuhan antara laki-laki dan perempuan, menjadi tiga pendapat:
a.       Batal secara mutlak (Madzhab Imam Syafi’i)
Dalil Madzhab:
1)         Adanya riwayat lain pada qiro’ah Al-Qur’an yang berbunyi: Laamastumun  Nisa (dengan lam pendek tanpa mad) yang berarti (menyentuh wanita). Walaupun Qiro’ah ini asing dan berbeda dengan qiro’ah lainnya, tetapi statusnya masih bisa menafsirkan makna “Laamastum”.
2)         Tidak ada satu hadits pun yang secara jelas menjelaskan tentang tidak batalnya wudhu lelaki yang menyentuhnya.
b.      Tidak batal secara mutlak (Madzhab Abu Hanifah)
Dalam Madzhab:
1)         Makna “Laamastum” adalah bersetubuh, sebagaimana riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Abbas  dan Ali bin Abi Thalib menafsirkannya dengan “bersetubuh”.
2)         Hadits Bukhari yang meriwayatkan bahwa Aisyah berkata bahwa Nabi sholat malam, sedangkan kaki Aisyah menghalangi Nabi untuk sujud. Maka setiap sujud Nabi menyingkirkan kaki Aisyah. Dari sini di pahami bahwa bersentuhnya tangan Nabi dengan Aisyah tidak membatalkan wudhu.
3)         Haidts yang dikeluarkan Ahmad bahwa Aisyah berkata: Nabi pernah mencium sebagian istrinya kemudian pergi sholat tanpa berwudhu kembali.

Bantahan terhadap pendapat ini:
1)         Tafsir kata “Laamastum” dengan makna bersetubuh yang bersumber dari Ibnu Abbas atau Ali tidak bisa diterima karena itu adalah riwayat yang belum tentu keabsahannya.
2)         Kalaupun riwayat di atas benar, tetapi itu adalah pendapat sahabat Nabi, sedangkan pendapat sahabat tidak bisa diambil kalau berbeda dengan Al-Qur’an dan Hadits.
3)         Hadits riwayat Bukhari tentang Nabi menyentuh kaki Aisyah ketika sujud dijawab oleh Imam Ibnu Hajar bahwa kemungkinan kaki Aisyah tertutupi oleh selimut, jadi Nabi tidak menyentuh kakinya langsung.
4)         Hadits mengatakan bahwa Nabi mencium istrinya kemudian pergi sholat tanpa berwudhu kembali, menurut Imam Bukhari hadits ini lemah.
c.       Batal apabila menyentuh dengan syahwat (Madzhab Imam Malik)
Dalil Madzhab: semua hadits yang meriwayatkan bahwa Nabi mencium atau menyentuh istrinya kemudian tidak berwudhu, itu bermakna bahwa Nabi melakukannya tanpa syahwat.
Sedangkan makna “Laamastum” adalah menyentuh dengan syahwat. Dengan demikian pendapat ini menggabungkan semua dalil dua pendapat diatas dan menyikapinya dengan mengambil jalan tengah.

DISKUSI DALIL

Ada beberapa kesimpulan yang bisa kita ambil dari keterangan di atas:
1.      Tidak ada dalil jelas yang menerangkan bahwa wudhu batal dengan menyentuh wanita.
2.      Tidak ada juga dalil jelas yang menerangkan bahwa wudhu tidak batal dengan menyentuh wanita.

Maka dari kesimpulan di atas dapat kita katakan bahwa pendapat-pendapat di atas bisa disikapi bahwa:
1.      Pendapat yang hati-hati adalah pendapat Imam Syafi’i.
2.      Pendapat yang dekat kebenarannya dengan dalil adalah pendapat Imam Abu Hanifah.
3.      Pendapat yang tengah-tengah adalah pendapat Imam Malik.

E.        Pasal Tiga: sunnah-sunnah Wudhu
1.      Membaca Basmalah (dari beberapa hadits lemah, tetapi saling menguatkan).
2.      Memakai siwak (bersugi). H.R. Al-Baihaqi dan Al-Hakim
3.      Membasuh telapak tangan. H.R. Ahmad dan Nasa’i
4.      Madhmadhoh (berkumur). H.R. Abu Dawud dan Al-Hakim
5.      Istinsyag (memasukkan air kedalam hidung) dan istintsar (mengeluarkannya). H.R. Bukhari dan Muslim
6.      Mengusap telinga. (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)
7.      Mendahulukan anggota yang sebelah kanan (untuk tangan dan kaki). H.R. At-Tarmidzi , Abu Dawud dan An-Nasa’i
8.      Membasuh sebanyak tiga kali. H.R. Muslim, Ahmad dan At-Turmudzi
9.      Menyela-nyela janggut yang tebal. H.R. Abu Dawud dan Al-Baihaqi
10.  Menyela-nyela tangan dan kaki. H. R. At-Turmudzi dan Ibnu majah
11.  Mengusap seluruh rambut. (madzhab Imam Syafi’i)
12.  Memenjangkan basuhan tangan sampai lebih di atas siku (H.R. Bukhari dan Muslim)
13.  Memanjangkan basuhan kaki sampai lebih di atas mata kaki. (H.R. Bukhari dan Muslim)
14.  Tidak bersela panjang ketika membasuh antara anggota wudhu. (Muwalah)
15.  Hemat air, walaupun berwudhu di atas lautan (H.R. Bukhari dan Muslim)
16.  Do’a setelah berwudhu (H.r. At-Thabrani dan An-Nasa’i)
17.  Sholat sunnah wudhu setelah selesai dari wudhu (H.R. Bukhari dan Muslim)

Catatan: semua sunah di atas disepakati oleh mayoritas ulama, hanya terjadi perbedaan dalam masalah mengusap rambut, apakah sunnah tiga kali atau sekali saja maka terjadilah dua pendapat:
1.      Sunnah tiga kali berdasarkan perkataan Usman bin Affan bahwa Rasulullah berwudhu dengan tiga kali (H.R Muslim At-Turmudzi). Dalam hadits ini tidak ada pengecualian  berarti rambut pun termasuk.
2.      Tidak sunnah tiga kali tetapi cukup sekali saja, hadits di atas bersifat umum. Maka keumumana hadits di atas di khususkan dengan hadits-hadits berikut:
a.       Hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Ustman bin Affan mengajarkan kepada Humran (budaknya) cara berwudhu seperti wudhunya Nabi. Pada saat mengajarinya Utsman tidak mengusap kepalanya tiga kali tetapi hanya sekali saja.
b.      Hadits yang dikeluarkan oleh Abu DawudAt-Turmudzi bahwa Ali menerangkan sifat wudhu Nabi, dengan mengatakan bahwa Nabi hanya sekali mengusap rambutnya.

F.     Pasal Empat: Makruh-Makruh Wudhu
Semua perbuatan yang meninggalkan sunnah wudhu maka itulah makruhnya wudhu.


BAB II
HUKUM AIR

A.    Pasal Satu: Pembagian Air Menurut Sifatnya:
Dalam kitab Fiqh air bisa dibagi menjadi empat:
1.      Air suci lagi mensucikan
Maksudnya air tersebut suci pada zatnya dan sekaligus bisa mengangkat hadats dan membersihkan najis, air ini di sebut “Air Mutlaq”, maksudnya air yang terlepas dari zat-zat yang bisa merubah kemutlakan namanya.
Bila di sebutkan secara terperinci, maka air tersebut ada 7 macam:
a.       Air hujan. (Q.S. Al-Furqan: 48)
b.      Air laut. (H.R. At-Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah)
c.       Air Sungai
d.      Air sumur. (H.R. At-Turmudzi dan Abu Dawud)
e.       Air mata air
f.       Air es
g.      Air salju
2.      Air suci lagi mensucikan tetapi makruh digunakan:
Jenis air ini hanya ada di madzhab Syafi’I, yaitu air musyammas (air panas karena terkena sinar matahari, di makruhkan menggunakan apabila:
a.       Air tersebut berwadah di bejana, berbahan metal, seperti: kaleng, besi, timah, dan lain-lain.
b.      Pada negeri yang panas dan saat musim panas.
c.       Digunakan saat air sedang panas.

Catatan:
a.       Air musyammas dipastikan tidak ada di Indonesia karena Indonesia negeri yang tropis, tidak ada musim panasnya.
b.      Imam An-nawawi (salah seorang ulama pengikut madzhab Syafi’i) tidak sependapat dengan Imam Syafi’I dalam masalah ini. Imam Nawawi berpendapat tidak makruh menggunakan air musyammas, karena tidak ada dalil yang menunjukkan tentang kemakruhan menggunakan air musyammas.
3.      Air suci tidak mensucikan.
Adalah:
a.       Setiap air (yang suci dan mensucikan) yang telah hilang kemutlakannnya karena bercampur dengan sesuatu hingga merubah bau, rasa dan warnanya, seperti air yang tercampur dengan teh, susu, kopi, dan lain-lain.
b.      Air yang dipakai dalam mengangkat hadats atau membersihkan najis (air musta’mal).
c.       Air yang tidak mutlak, seperti: air jeruk, air kelapa, dll.
4.      Air najis
Adalah:
a.       Air yang asalnya sudah najis: seluruh air kencing, baik manusia atau binatang
b.      Air suci yang terkena najis (mutanajis).

B.     Pasal dua: Pembagian Air menurut status perubahannya
Dalam pasal ini kita membahas hokum yang berkaitan dengan status air apabila kejatuhan najis atau yang lainnya.
Dalam masalah ini pendapat yang terkuat dari segi dalilnya ada dua pendapat:
1.      Madzhab Imam Malik: setiap air yang suci dan mensucikan (sedikit ataupun banyak) apabila kejatuhan najis, maka dilihat apabila terjadi perubahan pada salah satu dari tiga sifat yaitu: bau, rasa, atau warna, maka air tersebut menjadi najis. Namun apabila air tersebut tidak berubah rasa, bau atau warna maka air tersebut tetap suci.
Dalilnya: Hadits nabi: “Sesungguhnya air yang suci dan mensucikan tidaka akan ternajiskan oleh sesuatu” (H.R. Abu Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa’i). dalam tambahan riwayat A-Baihaqi: “Air itu suci dan mensucikan kecuali apabila berubah baunya atau rasanya atau warnanya dengan najis yang jatuh di atasnya”.
Pemahaman dalil: dari dua hadits di atas menunjukkan:
a.       Bahwa status air yang suci dan mensucikan bisa merubah menjadi najis apabila berubah salah satu dari tiga sifat (bau, rasa dan warna)
b.      Tidak ada perbedaan antara air yang sedikit atau banyak.
2.      Madzhab Syafi’I: air suci mensucikan terbagi dua:
a.       Air banyak (dua kulah- 200 liter)
Hukumnya: apabila kejatuhan najis maka statusnya tetap suci dan mensucikan, kecuali kalau merubah salah satu dari tiga sifat (bau, rasa dan warna), maka air menjadi najis.
b.      Air sedikit (dibawah dua qulah)
Hukumnya: apabila kejatuhan najis maka statusnya menjadi najis tanpa memandang berubah atau tidak berubah.
Dalilnya: adapun dalil bahwa air ada terbagi menjadi sedikit dan banyak adalah hadits berikut:
Dari Abdullah bin Umar dia berkata: Berkata Rasulullah: ”Apabila air berjumlah dua qulah maka tidak akan membawa najis “. Dalam lafadz riwayat lain: “tidak akan menjadi najis”. (H.R. At-Turmudzi, Abu Dawud, An-Nas’I dan Ibnu Majah).

Pemahaman dalil: bahwa Nabi menetapkan air yang sebanyak dua qulah tidak akan menjadi najis apabila kejatuhan najis. Tetapi dia berubah salah satu dari sifat yang ketiga (bau, rasa, dan warna) maka hukumnya najis berdasarkan hadits Nabi pada riwayat Al-Baihaqi.

Catatan:
Masalah yang kita bahas di pasal kedua adalah apabila air kejatuhan najis. Adapun kalau air suci dan mensucikan kejatuhan sesuatu yang tidak najis atau bercampur dengan air yang suci tetapi tidak mensucikan seperti air teh, air susu, air bekas wudhu, (musta’mal), maka hukumnya dilihat, apabila air yang kejatuhan sesuatu tersebut berubah salah satu dari tiga sifat (bau, rasa, dan warna) maka status air suci dan mensucikan tersebut turun nmenjaid suci tetapi tidak mensucikan.

BAB III
HADATS

43. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.

[301] Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.

A.    Pasal Satu: Pembagian Hadats
1.      Hadats kecil: hal-hal yang membatalkan wudhu (di bahas dalam bab wudhu)
2.      Hadats besar: hal-hal yang mewajibkan mandi.
Hal-hal yang menyebabkan wajib mandi adalah:
a.       Bertemunya dua khitan antara laki-laki dan perempuan (bersetubuh), walaupun tidak keluar sperma. (H.R. Muslim dan Ahmad)
b.      Keluarnya sperma baik dengan syahwat atau tidak dengan syahwat (H.R. Muslim)
c.       Bersih dari haid (H.R. Bukhari dan Muslim)
d.      Bersih dari nifas (ijma’ Ulama dengan menganologikannya dengan haid)
e.       Melahirkan anak, walaupun tanpa keluar darah nifas.
f.       Kematian (fardhu kifayah atas orang Islam)
g.      Islamnya orang yang kafir (H.R. Ahmad), dalam madzhab Abu Hanifah, adapun dalam madzhab Imam Syafi’I hanya disunnahkan saja.
B.     Pasal Dua: hal-hal yang diharamkan bagi yang terkena najis
1.      Hal-hal yang diharamkan bagi yang tidak berwudhu (hadats kecil):
a.       Sholat
b.      Thowaf (H.R. Al-Hakim)
c.       Memegang Al-Qur’an (Q.S Al-Waqi’ah: 79 dan H.R Al-Baihaqi, Ad-Daraquthni, Al-hakim, An-Nasa’I dan Al-Atsram). Berkata Al-Haitsami: “perawinya terpercaya”. Berkata Ibnu Abdil Bar: “Hadit-haditsnya hamper mencpai derajat mutawatir).
d.      Membawa Al-Qur’an (kecuali apabila tidak menyentuh dan membawa dengan benda yang lain dengan niat tidak membawa Al-Qur’an saja)
2.      Hal-hal yang diharamkan bagi yang terkena hadats besar:
Di bagi menjadi 2, yaitu:
I.       Bagi yang hadatsnya besar selain dari haid dan nifas:
a.       Sholat
b.      Thowaf
c.       Memegang Al-Qur’an
d.      Membawa Al-Qur’an
e.       Membaca Al-Qur’an (H.R. Ashabus Sunan, dan dishohihkan oleh At-Turmudzi)
f.       Berdiam lama dimasjid (niat I’tikaf  atau tidak niat I’tikaf). Q.s.An-Nisa’: 43)
II.    Bagi wanita yang haid dan nifas, diharamkan 10 hal:
a.       Sholat
b.      Thowaf
c.       Memegang Al-Qur’an
d.      Membawa Al-Qur’an
e.       Membaca Al-Qur’an
f.       Berdiam lama dimasjid (niat I’tikaf  atau tidak niat I’tikaf)
g.      Puasa (H.r. Jama’ah)
h.      Bersetubuh (Q.S. Al-Baqarah: 222)
i.        Dijatuhkan talak (haram bagi suaminya). H.R. Bukhari dan Muslim
j.        Melalui (lewat) dalam masjid kecuali kalau yakin tidak netes darahnya.

Catatan penting:
Banyak orang yang berpendapat bahwa wanita haid boleh berdiam lama di dalam masjid kalau yakin darahnya tidak netes ke masjid. Ini adalah pendapat keliru dan bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits dan pendapat seluruh ulama. Hokum sesungguhnya adalah wanita haid itu diharamkan berdiam didalam masjid kalau dalam keadaan haid walaupun yakin darahnya tidak netes. Masalah netes atau tidak netes itu dalam masalah lewatnya perempuan dalam masjid bukan berdiam lama.
Hal ini berdasarkan:
a)      Surat An_Nisa’: 43
b)      Orang yang terkena hadats besar karena keluar sperma atau bersetubuh saja diharamkan berdiam lama di dalam masjid, apabila wanita yang terkena hadats besar karena haid pasti jelas diharamkan.

C.    Pasal Ketiga: Hal-hal yang di sunnahkan Untuk mandi
1.      Mandi jum’at bagi yang menghadiri (H.R. Bukhari dan Muslim)
2.      Mandi dua hari raya (berdasarkan hadits-hadits lemah tapi didukung riwayat para sahabat)
3.      Bagi yang telah memandikan mayat. (H.R. Ahmad dan Ashabus Sunan)
4.      Mandi bagi yang berihram haji (H.R. Ad-daruquthni, Al-Baihaqi dan At-Turmudzi
5.      Bagi memasuki Mekkah (H.R. Bukhari dan Muslim)
6.      Bagi yang wukuf di Arafah (H.R. Imam Malik)
7.      Bagin orang kafir yang masuk Islam (menurut madzhab Syafi’i)
8.      Bagi yang mengahadiri sholat Istiqo (madzhab Syafi’i)
9.      Bagi yang menghadiri sholat Gerhana matahari dan bulan (madzhab Syafi’i)
10.  Bagi yang sadar dari gila dan pingsan (H.R. Bukhari dan Muslim)

BAB IV
TAYAMUM

Secara bahasa tayamum berarti bermaksud. Adapun menurut syara’ tayamum adalah menyampaikan debu ke muka dan kedua tangan sampai siku (menurut madzhab Syafi’i) dengan niat di bolehkan melakukan ibadah yang disyaratkan pada ibadah itu untuk bersuci.
Fungsi tayamum adalah apabila seseorang tidak bisa berwudhu atau tidak bisa mandi hadats karena tidak ada air, sakit atau sebab-sebab lain yang dibolehkan oleh agama, maka dia boleh melakukan tayamum tanpa melakukan wudhu.
Dasar perintah tayamum, firman Allah:
“….jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. Al-Maidah: 06)

A.    Pasal Satu: Sebab-sebab di bolehkan Tayamum
1.      Tidak adanya air. (Q.S. Al-Maidah: 6)
2.      Tidak dapat menggunakan air karena sakit yang tidak dibolehkan terkena air, juga adanya luka dan adanya perban (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni)
3.      Apabila air sedikit hanya cukup untuk minum saja (baik untuk minum diri sendiri atau hewan peliharaan). H.R. Ad-Daruquthni
4.      Takut menggunakan air karena sangat dingin sekali (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim dan Ad-Daruquthni)

B.     Pasal Dua: Syarat-syarat Tayamum
1.      Tayammum menggunakan debu (Madzhab Syafi’i)
2.      Debu yang digunakan harus suci dan tidak bercampur dengan tepung atau semen.
3.      Bertayammum setelah mencari air, berdasarkan keterangan Al-Qur’an (‘dan kalian tidak mendapat air’). Ini menunjukkan kita harus mencari air terlebih dahulu disekitar kita.
4.      Bertayammum setelah masuk waktu sholat. (H.R. Bukhari dan Ahmad)
5.      Menghilangkan najis terlebih dahulu (Madzhab Syafi’i)
6.      Debu. Bukan debu yang bekas dipakai bertayammum atau menghilangkan najis.
7.      Sengaja memindahkan debu ke wajah dan tangan (Madzhab Syafi’i)
8.      Satu tayammum untuk satu sholat fardhu (H.R. Al-Baihaqi dengan sanad riwayat yang shohih). Ini pendapat Imam Syafi’i
9.      Bertayammum dengan dua tepukan ke debu (H.R. Ad-Daruquthni, tetapi banyak ulama hadits menganggap hadits ini mauquf-sanadnya terputus, hingga tidak sampai kepada Nabi). Ini madzhab Syafi’i

C.    Pasal Tiga: Furudhut Tayammum (Fardhu-fardhu Tayammum)
1.      Niat.
2.      Memindahkan debu ke muka. (Madzhab Syafi’i)
3.      Mengusap muka (Al-Maidah: 06)
4.      Mengusap kedua tangan sampai pergelangan (H.R. Bukhari dan Muslim). Ini adalah pendapat para imam-imam madzhab dan madzhab lama (Qoul qodim syafi’i). adapun madzhab baru imam Syafi’I, mengharuskan mengusap debu sampai siku berdasarkan hadits riwayat Ad-Daruquthni.

D.    Pasal Empat: Hal-Hal Yang Membatalkan Tayammum
1.      Seluruh yang membatalkan wudhu
2.      Apabila mendapatkan air. (H.R. At-turmudzi)
3.      Sembuhnya sakit atau hilangnya sebab-sebab yang di bolehkan tayammum.
4.      Melakukan hal yang bisa memurtadkan (Madzhab Syafi’I, karena menganggap Tayammum adalah keringanan dari Allah, maka barang siapa yang di beri keringanan kemudian dia murtad, maka keringanan itu tidak berlaku baginya).

BAB V
NAJIS

A.    Pengertian Najis
Najis secara bahasa adalah sesuatu yang menjijikkan. Adapun secara syariat najis sulit untuk didefenisikan. Sebagian pendapat ada yang mencoba mendefinisikan najis dengan makna ‘sesuatu yang menjijikkan yang mencegah sahnya sholat”. Tetapi definisi ini memiliki kekurangan, karena ada najis yang tidak menjijikkan seperti arak dan minuman keras lainnya. Jadi yang paling tepat kita katakan bahwa najis tidak bisa didefinisikan.

B.     Pembagian Najis
Najis menurut cara membersihkannya terbagi menjadi 3:
1.      Najis Berat (Mugholladzoh)
Di sebut berat karena membersihkannya susah, yaitu dengan menyiramkannya dengan air sebanyak enam kali ditambah dengan tanah satu kali, boleh diawal ditengah atau diakhirnya.
Najis ini adalah ludah atau liur anjing. Sesuai dengan perintah Nabi dalam hadits riwayat Muslim: “Pensucian bejana kalian apabila dijilat oleh anjing adalah mencucinya tujuh kali (dengan air) salah satunya dengan tanah”.

Catatan:
a.       Secara lahir hadits, najis berat hanya terbatas pada ludah anjing saja, adapun kencing dan kotorannya tidak. Tetapi di madzhab Imam Syafi’I semua bagian dari anjing adalah apabila najis berat, baik kencingnya, kotorannya, kulitnya, bahkan bulunya. Dasar pendapat ini adalah apabila ludah anjing termasuk najis berat, sudah barang tentu kencingnya dan kotorannya juga najis, kemudian kalau dilihat yang paling bersih dari semua anggota badan anjing adalah lidahnya saja najis apalagi kulit, bulu dan anggota-anggota badannya yang lain.
b.      Dalam madzhab Syafi’I, hokum babi disamakan dengan anjing dari segi kenajisannya, sebaliknya anjing mengikuti babi dari hokum memakannya, maka menurut madzhab Syafi’i memakan anjing haram hukumnya di analogikan (diqiyaskan) dengan babi. Sebaliknya najisnya babi sama dengan anjing.

2.      Najis Ringan (Mukhaffafah)
Disebut ringan karena mudah membersihkannya, yaitu cukup dengan memercikkan air pada najis ringan tersebut hingga percikan air merata kebagian yang terkena najis.
Najis ini adalah: kencing bayi laki-laki dibawah dua tahun yang belum makan apa-apa kecuali ASI. Dalilnya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’I bahwa Nabi berkata: “Di cuci dari kencing bayi perempuan dan dipercikkan dari kencing laki-laki”.

Catatan:
Kalau bayi laki-laki dibawah dua tahun diberikan makanan selain ASI karena pengobtan atau tehnik (dengan kurma atau madu) atau memberinya air putih untuk menurunkan susu yang ada ditenggorokannya, maka status kencingnya tidak berubah (tetap najis ringan).

3.      Najis Sedang (Mutawassithoh)
Disebut sedang karena membersihkannya tidak terlalu sulit juga tidak terlalu mudah, yaitu mencucinya dengan air samapi hilang rasa, bau dan warna najis tersebut.
Najis ini adalah seluruh najis selain dua najis di atas (najis berat dan ringan) dapat kita perincikan sbb:
a.       Semua kencing manusia atau binatang (kecuali kencing yang termasuk najis ringan). H.R. Bukhari dan Muslim
b.      Air madzi (H.R. Bukhari dan Muslim) dan air wadhi.
c.       Semua darah dan nanah.
d.      Muntah.
e.       Semua bangkai (kecuali bangkai manusia, belalang dan hewan laut)
f.       Susu binatang yang haram dimakan.
g.      Minuman yang memabukkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar