1. Menurut bahasa: bersih dari
kotoran baik lahir maupun batin.
2. Menurut syara’: “suatu perbuatan
yang mengangkat hadats, menghilangkan najis, bermakna mengangkat hadats,
bermakna menghilangkan najis, penyempurnaan mengangkat hadats dan penyempurnaan
menghilangkan najis.”
Penjelasan makna syara’:
v Mengangkat hadats: wudhu atau
mandi hadats besar.
v Menghilangkan najis: membersihkan
najis sampai hilang bau, rasa, dan warna.
v Bermakna mengangkat hadats:
tayammum
v Bermakna menghilangkan najis:
istinja dengan batu.
v Penyempurna mengangkat hadats:
basuhan kedua dan ketiga pada wudhu dan mandi hadats besar.
v Penyempurna menghilangkan najis:
bilasan kedua dan ketiga pada najis, setelah hilangnya bau, rasa, dan warna.
BAB I
WUDHU
A. Dasar perintah wudhu:
1. Al-Qur’an surat al-Maidah: 06
2. Hadits Nabi: “Allah tidak menerima
sholat salah seorang dari kalian apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.”
(H.R. Bukhari & Muslim).
B.
Makna Wudhu
1. Menurut bahasa, diambil dari kata
wadho’ah yang berarti cantik dan elok.
2. Menurut syara’: nama untuk
membasuh sebagian anggota badan dengan niat khusus.
Penjelasan makna syara’:
v
Sebagian anggota badan yang wajib: muka,
tangan sampai siku, kepala (rambut), kaki sampai mata kaki.
v
Dengan niat khusus: dengan niat mengangkat
hadats kecil, atau memperbaharui wudhu.
C. Pasal satu: Furudhul Wudhu (fardhu-fardhu
wudhu)
1. Niat
Wajib menghadirkannya di dalam
hati ketika membasuh muka. Adapun melafazkannya adalah sunnah di madzhab Imam
Syafi’i. adapun lafadz niat wudhu adalah: “Nawaitul wudhu a li rof’il hadtsil
asghori lillahi ta’ala (sengaja aku berwudhu untuk mengangkat hadats kecil
karena Allah).”
2. Membasuh muka
Ø
Batas muka: panjang: Dari tempat tumbuh
rambut yang pertama di atas kening sampai ujung dagu.
Lebar : Dari daun telinga kanan sampai telinga
kiri.
Ø
Wajib membasuh seluruh bulu atau rambut yang
ada di muka kecuali janggut, kalau janggutnya tebal maka yang dhohirnya saja.
Adapun kalau janggutnya tipis maka wajib membasuh seluruh janggutnya.
a. Ukuran janggut tebal: apabila janggut tersebut
menutupi kulit dagu, hingga tidak bisa di lihat oleh mata dalam jarak yang
biasa di lakukan dalam majelis bicara.
b. Ukuran janggut tipis: apabila kulit dagu bisa terlihat
walaupun ada bulu janggut, sehingga bias di lihat oleh mata dalam jarak yang
biasa di lakukan dalam majelis bicara.
3. Membasuh tangan sampai siku
Batas tangan dari ujung jari
sampai siku. Tetapi disunnahkan memanjangkan basuhan sampai sebelum bahu.
Perhatian: hindarkan kuku kita dari kotoran
yang biasa menutupi masuknya air.
Catatan:
a. Tidak ada masalah kalau kita
membasuh tangan dimulai dari siku.
b. Disunahkan mendahulukan tangan
kanan dari tangan kiri.
4. Mengusap sebagian kepala (rambut)
Khusus untuk kepala atau rambut
hanya diusap saja. Maksud dari usap adalah menyampaikan basah saja tidak lebih
dari itu.
Kadar kepala atau rambut yang wajib dibasuh,
terjadi beberapa pendapat:
Pendapat pertama : sebagiannya saja walaupun
sehelai rambut (Imam Syafi’i).
Pendapat kedua : seluruh rambut yang ada di
kepala, walaupun air tidak mengena secara merata ke rambut bagian dalam (Imam
Malik).
Pendapat Ketiga: sebagian besar kepala, paling
minimal setengahnya (Abu Hanifah).
Keterangan:
1. Adalah pendapat yang kedua (Imam
Malik). Mengamalkannya juga tidak susah.
2. Imam Syafi’I yang membolehkan
mengusap sebagian rambut walaupun sehelai rambut, berpendapat disunnahkan
mengusap semua rambut.
3. Bila dilihat dari wudhunya
Rasulullah, maka Nabi selalu mengusap seluruh rambutnya kecuali ketika beliau
berwudhu dalam keadaan memakai serban, maka beliau hanya mengusap sebagian
kecil rambutnya.
5. Membasuh kaki sampai mata kaki
Yang kita perhatikan adalah
seperti masalah membasuh tangan.
6. Tertib
Urutan anggota badan yang dibasuh
dalam wudhu adalah ketentuan Allah, maka tidak boleh mendahulukan satu anggota
badan dengan anggota lainnya, seperti membasuh tangan kemudian muka. Maka
basuhan tangan tidak sah, karena tangan boleh dibasuh setelah sahnya basuhan
pada muka.
D. Pasal Kedua: hal yang membatalkan wudhu
1. Keluarnya segala sesuatu dari dua
jalan (qubul dan dubur), berupa:
a.
Air Kecil (kencing)
b.
Air Besar (kotoran) sesuai dengan perintah
Allah (An-Nisa’: 43)
c.
Angin yang terdengar atau tidak terdengar (H.R.
Bukhari & Muslim)
d. Air Madzi dan Wadhi (H.R.
Al-Baihaqi)
e. Air Mani (kecuali pendapat Imam
Syafi’i)
Keterangan: madzi adalah air yang keluar dari
qubul karena tingginya syahwat, bisa keluar sebelum keluarnya sperma (mani).
Adapun wadhi adalah air yang keluar dari qubul dikarenakan membawa barang yang
berat.
2. Hilangnya akal karena pingsan,
gila, ayan, dan mabuk. Adapun tidur tergantung posisi tidurnya, ada dua posisi:
a. Posisi tidur yang membatalkan
wudhu: apabila bokong orang tidur tidak menempel dibumi (bila tidur dalam
keadaan telentang).
b. Posisi tidur yang tidak
membatalkan wudhu: apabila bokong yang tidur menempel di bumi (bila tidur dalam
keadaan duduk)
Dasar Pemahaman:
1. Hadits Rasulullah: “ Mata
adalah pengikat dubur, maka barang siapa yang tidur berwudhulah. (H.R. Abu
Dawud)
2. Hadits Rasulullah: “ Mata
adalah pengikat dubur, apabila dua mata tertidur maka terbukalah dubur.
(H.R. Abu Dawud)
Pemahaman Dua Hadits di atas:
Bahwa tidur pada dasarnya tidak membatalkan
wudhu, tetapi ditakutkan dari tidur tersebut terbukanya dubur dan keluarnya
angin dari dubur yang terbuka tersebut. Maka dengan demikian apabila seseorang
tidur dengan posisi bokongnya menempel di bumi, duburnya tidak akan terbuka
walaupun kedua matanya tertidur.
3. Menyentuh Dzakar (H.R. Abub Dawud,
At-Turmudzi, An-Nasa’I, Ibnu Majah) atau menyentuh kemaluan laki-laki dan
perempuan (H.R. Ahmad). Menyentuh dianggap batal apabila menyentuhnya dengan
tangan dan tanpa penghalang).
Catatan:
Menurut Imam Syafi’I menyentuh kemaluan batal
apabila menyentuhnya dengan telapak tangan. Adapun kalau orang menyentuh
kemaluan dengan punggung tangannya maka tidak batal. Hal ini berdasarkan makna
“Massa” dalam hadits yang berarti ‘menyentuh dengan telapak tangan”.
4. Bersentuhnya dua kulit antara
laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, bukan mahram, tanpa penghalang.
Penjelasan Masalah:
Dasar masalah ini adalah surat An-Nisa’ ayat;
43. Firman Allah:
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa
yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub
(hadats besar), terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika
kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air (selesai
buang air besar dan kecil) atau Laamastun wanita, kemudian kamu tidak
mendapatkan air, maka bertayamumlah…..”
Catatan: Kata “Laamastum” bisa berarti dua:
menyentuh atau menyetubuhi. Maka karena perbedaan tafsir kalimat “Laamastum”
terjadilah perbedaan dalam masalah batalnya bersentuhan antara laki-laki dan
perempuan, menjadi tiga pendapat:
a. Batal secara mutlak (Madzhab Imam
Syafi’i)
Dalil Madzhab:
1)
Adanya riwayat lain pada qiro’ah Al-Qur’an
yang berbunyi: Laamastumun Nisa (dengan
lam pendek tanpa mad) yang berarti (menyentuh wanita). Walaupun Qiro’ah ini
asing dan berbeda dengan qiro’ah lainnya, tetapi statusnya masih bisa
menafsirkan makna “Laamastum”.
2)
Tidak ada satu hadits pun yang secara jelas
menjelaskan tentang tidak batalnya wudhu lelaki yang menyentuhnya.
b. Tidak batal secara mutlak (Madzhab
Abu Hanifah)
Dalam Madzhab:
1)
Makna “Laamastum” adalah bersetubuh,
sebagaimana riwayat yang menyebutkan bahwa Ibnu Abbas dan Ali bin Abi Thalib menafsirkannya dengan
“bersetubuh”.
2)
Hadits Bukhari yang meriwayatkan bahwa Aisyah
berkata bahwa Nabi sholat malam, sedangkan kaki Aisyah menghalangi Nabi untuk
sujud. Maka setiap sujud Nabi menyingkirkan kaki Aisyah. Dari sini di pahami
bahwa bersentuhnya tangan Nabi dengan Aisyah tidak membatalkan wudhu.
3)
Haidts yang dikeluarkan Ahmad bahwa Aisyah
berkata: Nabi pernah mencium sebagian istrinya kemudian pergi sholat tanpa
berwudhu kembali.
Bantahan terhadap pendapat ini:
1)
Tafsir kata “Laamastum” dengan makna
bersetubuh yang bersumber dari Ibnu Abbas atau Ali tidak bisa diterima karena
itu adalah riwayat yang belum tentu keabsahannya.
2)
Kalaupun riwayat di atas benar, tetapi itu
adalah pendapat sahabat Nabi, sedangkan pendapat sahabat tidak bisa diambil
kalau berbeda dengan Al-Qur’an dan Hadits.
3)
Hadits riwayat Bukhari tentang Nabi menyentuh
kaki Aisyah ketika sujud dijawab oleh Imam Ibnu Hajar bahwa kemungkinan kaki
Aisyah tertutupi oleh selimut, jadi Nabi tidak menyentuh kakinya langsung.
4)
Hadits mengatakan bahwa Nabi mencium istrinya
kemudian pergi sholat tanpa berwudhu kembali, menurut Imam Bukhari hadits ini
lemah.
c. Batal apabila menyentuh dengan
syahwat (Madzhab Imam Malik)
Dalil Madzhab: semua hadits yang meriwayatkan
bahwa Nabi mencium atau menyentuh istrinya kemudian tidak berwudhu, itu bermakna
bahwa Nabi melakukannya tanpa syahwat.
Sedangkan makna “Laamastum” adalah menyentuh
dengan syahwat. Dengan demikian pendapat ini menggabungkan semua dalil dua
pendapat diatas dan menyikapinya dengan mengambil jalan tengah.
DISKUSI DALIL
Ada beberapa kesimpulan yang bisa
kita ambil dari keterangan di atas:
1. Tidak ada dalil jelas yang
menerangkan bahwa wudhu batal dengan menyentuh wanita.
2. Tidak ada juga dalil jelas yang
menerangkan bahwa wudhu tidak batal dengan menyentuh wanita.
Maka dari kesimpulan di atas dapat
kita katakan bahwa pendapat-pendapat di atas bisa disikapi bahwa:
1. Pendapat yang hati-hati adalah
pendapat Imam Syafi’i.
2. Pendapat yang dekat kebenarannya
dengan dalil adalah pendapat Imam Abu Hanifah.
3. Pendapat yang tengah-tengah adalah
pendapat Imam Malik.
E.
Pasal Tiga: sunnah-sunnah Wudhu
1. Membaca Basmalah (dari beberapa
hadits lemah, tetapi saling menguatkan).
2. Memakai siwak (bersugi). H.R.
Al-Baihaqi dan Al-Hakim
3. Membasuh telapak tangan. H.R.
Ahmad dan Nasa’i
4. Madhmadhoh (berkumur). H.R. Abu
Dawud dan Al-Hakim
5. Istinsyag (memasukkan air kedalam
hidung) dan istintsar (mengeluarkannya). H.R. Bukhari dan Muslim
6. Mengusap telinga. (H.R. Abu Dawud
dan Ahmad)
7. Mendahulukan anggota yang sebelah
kanan (untuk tangan dan kaki). H.R. At-Tarmidzi , Abu Dawud dan An-Nasa’i
8. Membasuh sebanyak tiga kali. H.R.
Muslim, Ahmad dan At-Turmudzi
9. Menyela-nyela janggut yang tebal.
H.R. Abu Dawud dan Al-Baihaqi
10. Menyela-nyela tangan dan kaki. H.
R. At-Turmudzi dan Ibnu majah
11. Mengusap seluruh rambut. (madzhab
Imam Syafi’i)
12. Memenjangkan basuhan tangan sampai
lebih di atas siku (H.R. Bukhari dan Muslim)
13. Memanjangkan basuhan kaki sampai
lebih di atas mata kaki. (H.R. Bukhari dan Muslim)
14. Tidak bersela panjang ketika
membasuh antara anggota wudhu. (Muwalah)
15. Hemat air, walaupun berwudhu di
atas lautan (H.R. Bukhari dan Muslim)
16. Do’a setelah berwudhu (H.r.
At-Thabrani dan An-Nasa’i)
17. Sholat sunnah wudhu setelah
selesai dari wudhu (H.R. Bukhari dan Muslim)
Catatan: semua sunah di atas disepakati
oleh mayoritas ulama, hanya terjadi perbedaan dalam masalah mengusap rambut,
apakah sunnah tiga kali atau sekali saja maka terjadilah dua pendapat:
1. Sunnah tiga kali berdasarkan
perkataan Usman bin Affan bahwa Rasulullah berwudhu dengan tiga kali (H.R
Muslim At-Turmudzi). Dalam hadits ini tidak ada pengecualian berarti rambut pun termasuk.
2. Tidak sunnah tiga kali tetapi
cukup sekali saja, hadits di atas bersifat umum. Maka keumumana hadits di atas
di khususkan dengan hadits-hadits berikut:
a. Hadits yang di riwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim bahwa Ustman bin Affan mengajarkan kepada Humran (budaknya)
cara berwudhu seperti wudhunya Nabi. Pada saat mengajarinya Utsman tidak
mengusap kepalanya tiga kali tetapi hanya sekali saja.
b. Hadits yang dikeluarkan oleh Abu
DawudAt-Turmudzi bahwa Ali menerangkan sifat wudhu Nabi, dengan mengatakan
bahwa Nabi hanya sekali mengusap rambutnya.
F. Pasal Empat: Makruh-Makruh Wudhu
Semua perbuatan yang meninggalkan
sunnah wudhu maka itulah makruhnya wudhu.
BAB II
HUKUM AIR
A. Pasal Satu: Pembagian Air Menurut Sifatnya:
Dalam kitab Fiqh air bisa dibagi menjadi
empat:
1. Air suci lagi mensucikan
Maksudnya
air tersebut suci pada zatnya dan sekaligus bisa mengangkat hadats dan
membersihkan najis, air ini di sebut “Air Mutlaq”, maksudnya air yang terlepas
dari zat-zat yang bisa merubah kemutlakan namanya.
Bila di sebutkan secara
terperinci, maka air tersebut ada 7 macam:
a. Air hujan. (Q.S. Al-Furqan: 48)
b. Air laut. (H.R. At-Turmudzi, Abu
Dawud, Ibnu Majah)
c. Air Sungai
d. Air sumur. (H.R. At-Turmudzi dan
Abu Dawud)
e. Air mata air
f. Air es
g. Air salju
2. Air suci lagi mensucikan tetapi
makruh digunakan:
Jenis
air ini hanya ada di madzhab Syafi’I, yaitu air musyammas (air panas karena
terkena sinar matahari, di makruhkan menggunakan apabila:
a. Air tersebut berwadah di bejana,
berbahan metal, seperti: kaleng, besi, timah, dan lain-lain.
b. Pada negeri yang panas dan saat
musim panas.
c. Digunakan saat air sedang panas.
Catatan:
a. Air musyammas dipastikan tidak ada
di Indonesia karena Indonesia negeri yang tropis, tidak ada musim panasnya.
b. Imam An-nawawi (salah seorang
ulama pengikut madzhab Syafi’i) tidak sependapat dengan Imam Syafi’I dalam
masalah ini. Imam Nawawi berpendapat tidak makruh menggunakan air musyammas,
karena tidak ada dalil yang menunjukkan tentang kemakruhan menggunakan air
musyammas.
3. Air suci tidak mensucikan.
Adalah:
a. Setiap air (yang suci dan
mensucikan) yang telah hilang kemutlakannnya karena bercampur dengan sesuatu
hingga merubah bau, rasa dan warnanya, seperti air yang tercampur dengan teh,
susu, kopi, dan lain-lain.
b. Air yang dipakai dalam mengangkat
hadats atau membersihkan najis (air musta’mal).
c. Air yang tidak mutlak, seperti:
air jeruk, air kelapa, dll.
4. Air najis
Adalah:
a. Air yang asalnya sudah najis:
seluruh air kencing, baik manusia atau binatang
b. Air suci yang terkena najis
(mutanajis).
B. Pasal dua: Pembagian Air menurut status
perubahannya
Dalam pasal ini kita membahas
hokum yang berkaitan dengan status air apabila kejatuhan najis atau yang
lainnya.
Dalam masalah ini pendapat yang terkuat dari
segi dalilnya ada dua pendapat:
1. Madzhab Imam Malik: setiap air
yang suci dan mensucikan (sedikit ataupun banyak) apabila kejatuhan najis, maka
dilihat apabila terjadi perubahan pada salah satu dari tiga sifat yaitu: bau,
rasa, atau warna, maka air tersebut menjadi najis. Namun apabila air tersebut
tidak berubah rasa, bau atau warna maka air tersebut tetap suci.
Dalilnya: Hadits nabi:
“Sesungguhnya air yang suci dan mensucikan tidaka akan ternajiskan oleh
sesuatu” (H.R. Abu Dawud, At-Turmudzi, An-Nasa’i). dalam tambahan riwayat A-Baihaqi:
“Air itu suci dan mensucikan kecuali apabila berubah baunya atau rasanya atau
warnanya dengan najis yang jatuh di atasnya”.
Pemahaman dalil: dari dua hadits
di atas menunjukkan:
a. Bahwa status air yang suci dan
mensucikan bisa merubah menjadi najis apabila berubah salah satu dari tiga
sifat (bau, rasa dan warna)
b. Tidak ada perbedaan antara air
yang sedikit atau banyak.
2. Madzhab Syafi’I: air suci
mensucikan terbagi dua:
a. Air banyak (dua kulah- 200 liter)
Hukumnya: apabila kejatuhan najis maka statusnya
tetap suci dan mensucikan, kecuali kalau merubah salah satu dari tiga sifat
(bau, rasa dan warna), maka air menjadi najis.
b. Air sedikit (dibawah dua qulah)
Hukumnya: apabila kejatuhan najis maka
statusnya menjadi najis tanpa memandang berubah atau tidak berubah.
Dalilnya: adapun dalil bahwa air ada
terbagi menjadi sedikit dan banyak adalah hadits berikut:
Dari Abdullah bin Umar dia berkata: Berkata
Rasulullah: ”Apabila air berjumlah dua qulah maka tidak akan membawa najis “.
Dalam lafadz riwayat lain: “tidak akan menjadi najis”. (H.R. At-Turmudzi, Abu
Dawud, An-Nas’I dan Ibnu Majah).
Pemahaman dalil: bahwa Nabi menetapkan air yang
sebanyak dua qulah tidak akan menjadi najis apabila kejatuhan najis. Tetapi dia
berubah salah satu dari sifat yang ketiga (bau, rasa, dan warna) maka hukumnya
najis berdasarkan hadits Nabi pada riwayat Al-Baihaqi.
Catatan:
Masalah yang kita bahas di pasal kedua adalah
apabila air kejatuhan najis. Adapun kalau air suci dan mensucikan kejatuhan
sesuatu yang tidak najis atau bercampur dengan air yang suci tetapi tidak
mensucikan seperti air teh, air susu, air bekas wudhu, (musta’mal), maka
hukumnya dilihat, apabila air yang kejatuhan sesuatu tersebut berubah salah
satu dari tiga sifat (bau, rasa, dan warna) maka status air suci dan mensucikan
tersebut turun nmenjaid suci tetapi tidak mensucikan.
BAB III
HADATS
43. Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti
apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan
junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu
sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu
telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
[301] Menurut sebahagian ahli
tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang
junub yang belum mandi.
A. Pasal Satu: Pembagian Hadats
1. Hadats kecil: hal-hal yang
membatalkan wudhu (di bahas dalam bab wudhu)
2. Hadats besar: hal-hal yang
mewajibkan mandi.
Hal-hal yang menyebabkan wajib
mandi adalah:
a. Bertemunya dua khitan antara
laki-laki dan perempuan (bersetubuh), walaupun tidak keluar sperma. (H.R.
Muslim dan Ahmad)
b. Keluarnya sperma baik dengan
syahwat atau tidak dengan syahwat (H.R. Muslim)
c. Bersih dari haid (H.R. Bukhari dan
Muslim)
d. Bersih dari nifas (ijma’ Ulama
dengan menganologikannya dengan haid)
e. Melahirkan anak, walaupun tanpa
keluar darah nifas.
f. Kematian (fardhu kifayah atas
orang Islam)
g. Islamnya orang yang kafir (H.R.
Ahmad), dalam madzhab Abu Hanifah, adapun dalam madzhab Imam Syafi’I hanya
disunnahkan saja.
B. Pasal Dua: hal-hal yang diharamkan bagi
yang terkena najis
1. Hal-hal yang diharamkan bagi yang
tidak berwudhu (hadats kecil):
a. Sholat
b. Thowaf (H.R. Al-Hakim)
c. Memegang Al-Qur’an (Q.S
Al-Waqi’ah: 79 dan H.R Al-Baihaqi, Ad-Daraquthni, Al-hakim, An-Nasa’I dan
Al-Atsram). Berkata Al-Haitsami: “perawinya terpercaya”. Berkata Ibnu Abdil
Bar: “Hadit-haditsnya hamper mencpai derajat mutawatir).
d. Membawa Al-Qur’an (kecuali apabila
tidak menyentuh dan membawa dengan benda yang lain dengan niat tidak membawa
Al-Qur’an saja)
2. Hal-hal yang diharamkan bagi yang
terkena hadats besar:
Di bagi menjadi 2, yaitu:
I. Bagi yang hadatsnya besar selain
dari haid dan nifas:
a. Sholat
b. Thowaf
c. Memegang Al-Qur’an
d. Membawa Al-Qur’an
e. Membaca Al-Qur’an (H.R. Ashabus
Sunan, dan dishohihkan oleh At-Turmudzi)
f. Berdiam lama dimasjid (niat
I’tikaf atau tidak niat I’tikaf).
Q.s.An-Nisa’: 43)
II. Bagi wanita yang haid dan nifas,
diharamkan 10 hal:
a. Sholat
b. Thowaf
c. Memegang Al-Qur’an
d. Membawa Al-Qur’an
e. Membaca Al-Qur’an
f. Berdiam lama dimasjid (niat
I’tikaf atau tidak niat I’tikaf)
g. Puasa (H.r. Jama’ah)
h. Bersetubuh (Q.S. Al-Baqarah: 222)
i.
Dijatuhkan talak (haram bagi suaminya). H.R.
Bukhari dan Muslim
j.
Melalui (lewat) dalam masjid kecuali kalau
yakin tidak netes darahnya.
Catatan penting:
Banyak orang yang berpendapat
bahwa wanita haid boleh berdiam lama di dalam masjid kalau yakin darahnya tidak
netes ke masjid. Ini adalah pendapat keliru dan bertentangan dengan Al-Qur’an
dan hadits dan pendapat seluruh ulama. Hokum sesungguhnya adalah wanita haid
itu diharamkan berdiam didalam masjid kalau dalam keadaan haid walaupun yakin
darahnya tidak netes. Masalah netes atau tidak netes itu dalam masalah lewatnya
perempuan dalam masjid bukan berdiam lama.
Hal ini berdasarkan:
a) Surat An_Nisa’: 43
b) Orang yang terkena hadats besar
karena keluar sperma atau bersetubuh saja diharamkan berdiam lama di dalam
masjid, apabila wanita yang terkena hadats besar karena haid pasti jelas
diharamkan.
C. Pasal Ketiga: Hal-hal yang di sunnahkan Untuk
mandi
1. Mandi jum’at bagi yang menghadiri
(H.R. Bukhari dan Muslim)
2. Mandi dua hari raya (berdasarkan
hadits-hadits lemah tapi didukung riwayat para sahabat)
3. Bagi yang telah memandikan mayat.
(H.R. Ahmad dan Ashabus Sunan)
4. Mandi bagi yang berihram haji
(H.R. Ad-daruquthni, Al-Baihaqi dan At-Turmudzi
5. Bagi memasuki Mekkah (H.R. Bukhari
dan Muslim)
6. Bagi yang wukuf di Arafah (H.R.
Imam Malik)
7. Bagin orang kafir yang masuk Islam
(menurut madzhab Syafi’i)
8. Bagi yang mengahadiri sholat
Istiqo (madzhab Syafi’i)
9. Bagi yang menghadiri sholat Gerhana
matahari dan bulan (madzhab Syafi’i)
10. Bagi yang sadar dari gila dan
pingsan (H.R. Bukhari dan Muslim)
BAB IV
TAYAMUM
Secara bahasa tayamum
berarti bermaksud. Adapun menurut syara’ tayamum adalah menyampaikan
debu ke muka dan kedua tangan sampai siku (menurut madzhab Syafi’i) dengan niat
di bolehkan melakukan ibadah yang disyaratkan pada ibadah itu untuk bersuci.
Fungsi tayamum adalah apabila seseorang tidak
bisa berwudhu atau tidak bisa mandi hadats karena tidak ada air, sakit atau
sebab-sebab lain yang dibolehkan oleh agama, maka dia boleh melakukan tayamum
tanpa melakukan wudhu.
Dasar perintah tayamum, firman
Allah:
“….jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,
lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. Al-Maidah: 06)
A. Pasal Satu: Sebab-sebab di bolehkan Tayamum
1. Tidak adanya air. (Q.S. Al-Maidah:
6)
2. Tidak dapat menggunakan air karena
sakit yang tidak dibolehkan terkena air, juga adanya luka dan adanya perban
(H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni)
3. Apabila air sedikit hanya cukup
untuk minum saja (baik untuk minum diri sendiri atau hewan peliharaan). H.R.
Ad-Daruquthni
4. Takut menggunakan air karena
sangat dingin sekali (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim dan Ad-Daruquthni)
B. Pasal Dua: Syarat-syarat Tayamum
1. Tayammum menggunakan debu (Madzhab
Syafi’i)
2. Debu yang digunakan harus suci dan
tidak bercampur dengan tepung atau semen.
3. Bertayammum setelah mencari air,
berdasarkan keterangan Al-Qur’an (‘dan kalian tidak mendapat air’). Ini
menunjukkan kita harus mencari air terlebih dahulu disekitar kita.
4. Bertayammum setelah masuk waktu
sholat. (H.R. Bukhari dan Ahmad)
5. Menghilangkan najis terlebih
dahulu (Madzhab Syafi’i)
6. Debu. Bukan debu yang bekas
dipakai bertayammum atau menghilangkan najis.
7. Sengaja memindahkan debu ke wajah
dan tangan (Madzhab Syafi’i)
8. Satu tayammum untuk satu sholat
fardhu (H.R. Al-Baihaqi dengan sanad riwayat yang shohih). Ini pendapat Imam
Syafi’i
9. Bertayammum dengan dua tepukan ke
debu (H.R. Ad-Daruquthni, tetapi banyak ulama hadits menganggap hadits ini
mauquf-sanadnya terputus, hingga tidak sampai kepada Nabi). Ini madzhab Syafi’i
C. Pasal Tiga: Furudhut Tayammum (Fardhu-fardhu
Tayammum)
1. Niat.
2. Memindahkan debu ke muka. (Madzhab
Syafi’i)
3. Mengusap muka (Al-Maidah: 06)
4. Mengusap kedua tangan sampai
pergelangan (H.R. Bukhari dan Muslim). Ini adalah pendapat para imam-imam
madzhab dan madzhab lama (Qoul qodim syafi’i). adapun madzhab baru imam
Syafi’I, mengharuskan mengusap debu sampai siku berdasarkan hadits riwayat
Ad-Daruquthni.
D. Pasal Empat: Hal-Hal Yang Membatalkan
Tayammum
1. Seluruh yang membatalkan wudhu
2. Apabila mendapatkan air. (H.R.
At-turmudzi)
3. Sembuhnya sakit atau hilangnya
sebab-sebab yang di bolehkan tayammum.
4. Melakukan hal yang bisa
memurtadkan (Madzhab Syafi’I, karena menganggap Tayammum adalah keringanan dari
Allah, maka barang siapa yang di beri keringanan kemudian dia murtad, maka
keringanan itu tidak berlaku baginya).
BAB V
NAJIS
A. Pengertian Najis
Najis secara bahasa adalah sesuatu
yang menjijikkan. Adapun secara syariat najis sulit untuk didefenisikan.
Sebagian pendapat ada yang mencoba mendefinisikan najis dengan makna ‘sesuatu
yang menjijikkan yang mencegah sahnya sholat”. Tetapi definisi ini memiliki
kekurangan, karena ada najis yang tidak menjijikkan seperti arak dan minuman
keras lainnya. Jadi yang paling tepat kita katakan bahwa najis tidak bisa
didefinisikan.
B. Pembagian Najis
Najis menurut cara membersihkannya
terbagi menjadi 3:
1. Najis Berat (Mugholladzoh)
Di
sebut berat karena membersihkannya susah, yaitu dengan menyiramkannya dengan
air sebanyak enam kali ditambah dengan tanah satu kali, boleh diawal ditengah
atau diakhirnya.
Najis
ini adalah ludah atau liur anjing. Sesuai dengan perintah Nabi dalam hadits
riwayat Muslim: “Pensucian bejana kalian apabila dijilat oleh anjing adalah
mencucinya tujuh kali (dengan air) salah satunya dengan tanah”.
Catatan:
a. Secara lahir hadits, najis berat
hanya terbatas pada ludah anjing saja, adapun kencing dan kotorannya tidak.
Tetapi di madzhab Imam Syafi’I semua bagian dari anjing adalah apabila najis
berat, baik kencingnya, kotorannya, kulitnya, bahkan bulunya. Dasar pendapat
ini adalah apabila ludah anjing termasuk najis berat, sudah barang tentu
kencingnya dan kotorannya juga najis, kemudian kalau dilihat yang paling bersih
dari semua anggota badan anjing adalah lidahnya saja najis apalagi kulit, bulu
dan anggota-anggota badannya yang lain.
b. Dalam madzhab Syafi’I, hokum babi
disamakan dengan anjing dari segi kenajisannya, sebaliknya anjing mengikuti
babi dari hokum memakannya, maka menurut madzhab Syafi’i memakan anjing haram
hukumnya di analogikan (diqiyaskan) dengan babi. Sebaliknya najisnya babi sama
dengan anjing.
2. Najis Ringan (Mukhaffafah)
Disebut
ringan karena mudah membersihkannya, yaitu cukup dengan memercikkan air pada
najis ringan tersebut hingga percikan air merata kebagian yang terkena najis.
Najis
ini adalah: kencing bayi laki-laki dibawah dua tahun yang belum makan apa-apa
kecuali ASI. Dalilnya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan
An-Nasa’I bahwa Nabi berkata: “Di cuci dari kencing bayi perempuan dan
dipercikkan dari kencing laki-laki”.
Catatan:
Kalau bayi laki-laki dibawah dua
tahun diberikan makanan selain ASI karena pengobtan atau tehnik (dengan kurma
atau madu) atau memberinya air putih untuk menurunkan susu yang ada
ditenggorokannya, maka status kencingnya tidak berubah (tetap najis ringan).
3. Najis Sedang (Mutawassithoh)
Disebut
sedang karena membersihkannya tidak terlalu sulit juga tidak terlalu mudah,
yaitu mencucinya dengan air samapi hilang rasa, bau dan warna najis tersebut.
Najis
ini adalah seluruh najis selain dua najis di atas (najis berat dan ringan)
dapat kita perincikan sbb:
a. Semua kencing manusia atau
binatang (kecuali kencing yang termasuk najis ringan). H.R. Bukhari dan Muslim
b. Air madzi (H.R. Bukhari dan
Muslim) dan air wadhi.
c. Semua darah dan nanah.
d. Muntah.
e. Semua bangkai (kecuali bangkai
manusia, belalang dan hewan laut)
f. Susu binatang yang haram dimakan.
g. Minuman yang memabukkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar